Sunday, September 2, 2018
Tuesday, March 6, 2018
Monyet Jatuh Cinta
Pagi itu seperti biasanya, Jeni berangkat terburu-buru ke sekolah dan belum sarapan. Pagi ini senin dan upacara bendera. Sekolahnya memang tak jauh tapi cukup butuh waktu karena di tempuh dengan berjalan kaki. Pagi itu matahari terasa lebih panas dari biasanya.
Upacara akan di mulai, murid-murid berbaris. Jeni berbaris di bagian paling depan, karena memang tak ada teman-teman sekelasnya berbaris paling depan dengan alasan ga bisa bercanda atau ngobrol saat bosan upacara.
Tapi seperti ada yang berbeda hari itu, anak-anak perempuan di kelas Jeni seperti terpana pada 1 arah. Ada anak baru di kelas 5, laki-laki, Anaknya rapi, tegap, pendiam dan cuek. Saat itu Jeni hanya melihat sekilas ke anak itu dan kembali fokus ke upacara. Upacara selesai, dan semua murid masuk kelas.
"Anak baru itu ganteng ya", celetuk Sari teman sebangkunya.
"Anak kelas 5?", tanya Jeni meyakinkan balik.
"Iya. Anak pindahan dari SD 17", jawabnya dengan wajah berbunga-bunga.
"Kamu suka ya??", ujar Jeni menggoda Sari.
"Haha, sepertinya begitu", jawab Sari.
"Masih kecil udah suka-sukaan aja, haha", balas Jeni mengejek Sari.
Bercandaan mereka terbuyarkan oleh guru Matematika yang masuk ke kelas. Murid-murid yang bergosip dan berkumpul di suatu bangku, kembali ke bangku masing-masing dan membuka buku pelajaran.
Bersambung
***
Saturday, February 24, 2018
Pengantar Senja
Sore itu menunggu matahari turun,
Seperti hari-hari biasa,
Aku di pantai ini dengan tujuanku,
Yaitu mengantar Senja.
Kawanku berkata,
Senja kan dapat pulang sendiri,
Tak apa,
Aku senang saja.
Aku melambaikan tangan pada senja,
Itu salam perpisahanku di pantai ini,
Pantai yang akan jarang ku kunjungi,
Karena aku akan pergi.
Aku melebarkan tangan,
dan menggenggam matahari,
aku ingin membawa hangatnya dalam dadaku,
Dan menyimpannya dalam imajinasiku.
Ombak tak ingin melepaskan kakiku,
Tapi angin menguatkan aku untuk pergi,
Mataharipun terbenam lenyap,
Aku pulang telah gelap.
Tuesday, February 20, 2018
Misterius Teman Baru
Langit begitu mendung, awan juga
terlihat gelap, sepertinya mau hujan, seragam dengan suasana hatiku saat ini.
Entah apa yang membuat aku seperti ini, aku merasa sesak, dan ingin melepaskan
semua beban ini, tapi kepada siapa? Tak ada seseorang yang dapat ku percaya di
dunia ini, kecuali Tuhan. Tuhan, tolong bantu aku dari semua kesulitan ini, aku
merasakan dunia ini tak adil untukku, engkau berbuat adil pada hambamu ini,
tetapi makhlukmu tak berlaku adil padaku.
Apa
salahku? mengapa aku begitu dibenci oleh teman-teman di sekolah, apalagi
teman-teman di kelasku?. Egi, salah satu teman laki-laki yang selalu aku
banggakan, dia pintar dan alim, tiba-tiba saja membenciku, Zhafi yang dulunya
teman karibku, sekarang menjadi dingin dan berubah, Tika teman sebangkuku yang
dulunya baik, gokil, selalu mensuport aku dan kami mempunyai banyak kesamaan,
dia menjauh dan tidak seperti dulu lagi, sedangkan teman-teman di kelas yang
dulunya menghargai aku, tiba-tiba mencemo’ohkan aku dan membanding-bandingkan
aku dengan Zhafi yang mereka anggap sebagai ratu penyelamat dikala ujian.
Kenapa hal ini terjadi padaku?.
Diriku
seakan-akan tak pantas berada di dalam habitat ini, dan aku gagal dalam
melakukan adaptasi, jika hal ini ku kaitkan dengan pelajaran Biologi. Aku
pernah mencoba ingin berubah, aku bertanya pada mereka, kenapa mereka membenci
aku dan apa kesalahan aku? mereka tak mau menjawab apa-apa dan malah
meninggalkan aku. Oh Tuhan, sesulit inikah cobaan yang kau berikan padaku? Aku
pasrah dan tolong beri aku petunjukmu, do’aku ketika selesai sholat ashar di
mesjid.
Aku
keluar dari mesjid, aku merasakan sedikit ketenangan dan kedamaian setelah
sholat dan berdo’a. Aku berjalan lurus, lurus, dan terus lurus, aku tak tau
lagi mau kemana kaki ini akan ku langkahkan, pandangan ku kosong. Butiran air
mulai menetes satu-satu dari langit, hingga akhirnya kencang dan deras. Aku
berlari mencari tempat berteduh, tetapi kacamataku jatuh, nyaris retak, aku
memunggutnya lagi, sebelum memakainya, dengan samar-samar dari kejauhan aku
melihat seseorang berjalan kaki dan berpayung yang sedang menuju aku dan ingin
menghampiriku. Kembali kugunakan kacamata, barulah tampak jelas, ternyata dia
adalah sahabatku Wilham, dia beda kelas denganku. Dia menumpangiku untuk
menggunakan payungnya. Aku kira dia tidak akan mengacuhkan aku, ternyata dia
peduli padaku.
Wilham
membawaku ke rumahnya, dia menyuruhku masuk. Awalnya aku ragu, tapi dia
memaksa.
“Apa
orang tuamu ada di rumah?” tanya ku gugup.
“Tidak,
hanya kakakku” jawab Wilham.
“Oh,
baiklah” ujarku dan aku masuk ke dalam rumahnya.
Wilham
melemparkan sebuah handuk kering padaku, dan kemudian datang membawakan dua
cangkir teh hangat, secangkair untukku, dan secangkir untuk dia, saat itu aku
tidak berfikiran dia tidak akan berbuat jahat padaku seperti yang biasanya
ditayangkan di sinetron-sinetron, aku percaya dia, dia sahabatku, dan dia tak
mungkin melakukan hal yang buruk padaku.
“Kok
kamu pulangnya telat? Apa orang tuamu tidak marah kalau pulang telat begini?”
tanya Wilham mengawali pembicaraan kami.
“Tadi
aku nyasar, Wil. Aku juga tidak tahu kalau orang tuaku akan marah kalau pulang
telat” jawabku seadanya.
“Ha?
Nyasar? Mana mungkin sudah segede ini kamu nyasar, lagi pula kamu bukan anak
baru. Memangnya tak ada alasan lain yang harus kamu berikan. Kamu lucu!” Wilham
tersenyum kecil. “Bagaimana dengan cerpenmu? Sudah selesai?” Wilham meneguk
tehnya.
“Belum,
aku masih bingung mau memilih tema cerita apa.”
“Kalau
menurut aku, kamu lebih baik mengambil tema cerita dari sesuatu yang pernah
kamu alami, jadinya lebih real”, lalu
Wilham diam sejenak, karena tak dapat respon apa-apa dariku, dan dia berkata
lagi. “Loh, kok diam Nis?”.
“Nggak,
aku cuma lagi mikir aja”, jawabku berkilah.
“Mikir
apa sich? Kok akhir-akhir ini kamu sering diam, ada masalah ya? Kalau ada
masalah, silahkan cerita aja, siapa tahu aku bisa bantu. Jangan
dipendam-pendam, nanti bisa sesak, dan butuh dokter jiwa buat
menyelesaikannya”. Aku diam dan sama sekali tak ku cerna kata-katanya barusan.
“Oh
ma’af, kamu tersinggng ya, dengan kata-kataku barusan?” Wilham merasa bersalah
dengan kalimat gurauannya, dia fikir aku akan tersenyum dengan kata-kata itu,
ternyata tidak.
“Ah,
tidak sama sekali” sanggahku, sebenarnya aku agak tersinggung, aku bukan gila,
untuk apa aku butuh dokter jiwa, mungkin itu pengalaman dia yang pernah
konsultasi ke dokter jiwa.
“Bagaimana
masalahmu dengan Ari dan Riyan di facebook? Bukankah Ari yang menghina kamu
duluan dan Riyan juga ikutan membela Ari” Wilham mengalihkan topik pembicaraan.
“Entahlah,
Wil. Sepertinya aku tak akan berbaikan lagi dengan mereka, kata-kata yang
mereka lontarkan sangat kasar, meskipun itu hanya di dunia maya, tapi kan bisa
dibaca semua orang. Padahal hanya masalah sepele, mereka besar-besarkan. Aku
rasa Riyan ikut-ikutan dalam masalah ini, karena penerimaan rapor kemarin”.
“Memangnya
salah ya, kalau kamu meraih juara umum? Tapi bagi aku sih, sah-sah aja, karna
ini hasil kerja kerasmu, setiap hari belajar siang malam, sampai-sampai kamu
pernah sakit karna kelelahan. Wajar saja mereka iri padamu, karna kamu memiliki
kelebihan daripada mereka, setiap orang yang sedang lagi diatas pasti banyak
orang ingin menjatuhkannya. Aku sarankan padamu, supaya tetap bertahan, jangan
kamu hiraukan cemo’ohan mereka. Yang jelas kamu harus tetap belajar untuk
menghadapi ujian nasional, kalau nilai kamu tinggi, kamu bisa sekolah keluar
kota, dan kamu belum tentu bertemu mereka lagi. Tapi, kalau kamu tidak satu
sekolah lagi dengan aku, jangan lupain aku ya?”, ujar Wilham sedih.
“Terima
kasih, Wil. Kamu memang sahabat terbaik yang pernah ku milikki. Aku janji, aku
tidak akan melupakanmu, selama aku tidak pikun, lagi pula kita bisa masih bisa
terhubung”.
Aku
melihat kesedihan di wajah Wilham, matanya ber kaca-kaca, lalu mengeluarkan air
mata, aku dapat membaca pikirannya, sepertinya dia takut kehilangan seseorang,
mungkinkah seseorang itu aku?.
“Kamu
kenapa Wil? Kamu menangis, ya?
“Ah,
tidak. Masak anak laki-laki menangis”, Wilham berkilah dan mengusap air
matanya.
“Biasa
aja kok, kamu kan juga manusia biasa, bukan superman” ujarku menghibur.
“Ha,
ha, bisa saja kamu. Ayo, minum tehnya, nanti dingin loh”.
Aku
meneguk air teh, dan merasakan kehangatan yang menjalar dari kerongkonganku.
“Wil,
bisa pinjam handphone kamu, nggak?”.
“Bisa,
memangnya kamu ingin menelfon siapa?”.
“Aku
ingin menelfon bapakku”.
“Untuk
apa?”, Tanya Wilham yang selalu ingin tahu.
“Aku
ingin memintanya untuk menjemputku pulang”.
“Kenapa?”
“Tadi
uangku hilang, jadi aku tidak punya ongkos untuk pulang”.
“O,
karna ini kamu nyasar, kenapa kamu tidak meminjam uangku saja”.
“Aku
tidak mau ngerepotin kamu”.
“Aku
pengen sekali kamu repotin. Kalau kamu aku antar sampai rumah, gimana? Nggak
keberatan kan?”.
“Ng,
nggak usahlah”, jawabku menolak tawaran Wilham.
“Ayolah,
masak diantarin sama cowok seganteng aku ini kamu tidak mau”, Wilham memaksa.
“Baiklah”.
“Nah,
begitu dong”.
“Sebelum
aku pulang, aku ingin cerita sesuatu sama kamu”.
“Ayo,
ceritakan saja”.
“Begini,
tadi siang, ketika usai kegiatan di labor, teman-teman sudah keluar, tinggal
aku sendirian di labor. Aku memegang pisau, dan memandang pisau itu dengan
lekat-lekat. Ketika aku ingin mengayunkannya, tiba-tiba aku merasakan seseorang
lewat di belakangku. Ternyata benar, seorang siswa, sepertinya murid sekolahan
kita. Lalu, dia mengambil pisau dari tanganku dan meletakannya, dan dia keluar,
kemudian aku mengejarnya, dan dia menghilang”.
“Terus,
kejadian apalagi?”, Wilham penasaran.
“Ketika
aku pulang sekolah, aku jalan kaki sampai sebuah jembatan, dan aku berdiiri
diatasnya dan ingin melompat ke bawah sungai”.
“Ha?
Kamu mau bunuh diri?”, tanya Wilham heran.
“Awalnya
begitu”, jawabku pelan.
“Aduh
Nisa, kenapa kamu lakuin itu?”.
“Aku
ngerasa hidupku tidak ada gunanya lagi”.
“Kenapa
jalan pikir kamu pendek sekali. Bunuh diri, tidak akan bisa menyelesaikan
masalah, dan kamu nggak boleh ngelakuin itu lagi,”
“Lanjutin
cerita kamu”.
“Ketika
aku akan melompat, anak laki-laki itu muncul lagi, dan dia menarik tanganku,
mengajak aku turun, setelah aku turun, dia pergi. Aku tidak membiarkannya pergi
begitu saja, aku menarik lengannya. Lalu dia minta ma’af padaku karna dia telah
menggagalkan ku untuk bunuh diri, aku kaget dengan responnya itu, seharusnya
akulah yang harus berterima kasih padanya dan dia menasehatiku, bahwa dengan
bunuh diri masalahku tidak akan selesai begitu saja, kami berkenalan dan dia
cerita banyak tentang dirinya padaku, aku sungguh salut padanya”.
“Lantas,
namanya siapa?”.
“Namanya
Yuda Al-Faiz”.
“Kalau
tidak salah aku pernah mendengar namanya”.
“Kapan?”.
“Kalau
waktunya sih, nggak ingat, tapi aku pernah dengar mungkin saja dia itu Yuda
Al-Faiz kakak kelas kita yang meninggal bunuh karna stress menghadapi
teman-temanya”.
“Ah,
nggak mungkin dia, nama Yuda Al-Faiz nggak mungkin cuma satu orang, lagi pula
kakak kelas kita itu telah meninggal”.
“Kenalin aku
sama dia dong!”.
“Ia.
Tapi sepertinya hujan sudah reda, aku ingin pulang, kamu jadi nggak ngantarin
aku pulang?”
“Ayo!”.
Wilham
mengantarkanku sampai rumah.
“Terima
kasih ya Wil, sudah ngantarin aku sampai rumah”.
“Iya,
sama-sama”.
“Nggak
mampir dulu ke rumahku?”.
“Ah,
kapan-kapan sajalah”.
“O,
begitu”, aku pergi meninggalkan Wilham.
“Tunggu”,
Wilham meraih tanganku.
“Ada
apa?”.
“Tapi
besok kamu janji, kan?”.
“Janji
apa?”.
“Janji
ngenalin aku sama teman barumu itu”.
“Iya,
besok”.
“Aku
pergi dulu ya”. Hanya ku balas dengan anggukan saja.
Keesokannya,
di sekolah, sepulang sekolah.
“Wil,
itu dia Wil”. Aku menunjuk ke arah Yuda yang duduk dekat beranda gerbang
sekolah.
“Mana?,
aku tidak lihat dia”, Wilham menengok ke sana ke mari.
“Itu,
yang duduk dekat pintu gerbang”.
“Mana?
Ga ada tuh “, handphone Wilham berbunyi.
“Tunggu
sebentar ya, ada yang menelfonku” ujarnya mengangkat telfon, dan aku
menghampiri Yuda.
“Sedang
apa Yuda?”.
“Sedang
menunggumu”.
“Sudah
lama?”.
“Belum”.
“Oh
ya, aku mau ngenalin kamu sama sahabat ku, mau nggak?”.
“Ah,
nggak usahlah” jawab Yuda dengan keberatan.
“Kenapa?”.
“Percuma”.
“Percuma
kenapa? tanyaku penasaran.
“Percuma,
karna dia tidak akan bisa melihatku, karna cuma kamu yang bisa ngelihat aku”.
“Loh
kok begitu?” aku heran sekali mendengar ucapannya.
“Ayo,
kita kesana Nisa”, Yuda menarik tanganku sekeras mungkin, dan berlari melintasi
jalan raya, aku tertarik dan nyaris tertabrak sebuah truk, tiba-tiba dari
belakang, seseorang menarik tanganku untuk kembali ke pinggir jalan, aku
selamat dari peristiwa kecelakaan itu, ternyata seseorang itu adalah Wilham,
aku sungguh berterima kasih dan berhutang nyawa padanya.
Beberapa
hari kemudian.
Sudah
seminggu sesudah peristiwa na’as itu, Yuda tidak lagi muncul.
Wilham
datang menghampiriku, lalu berkata ”Nis, teman kamu yang bernama Yuda itu,
benar Yuda Al-Faiz, kakak kelas kita yang meninggal tiga tahun yang lampau
karna bunuh diri, dia kesepian dan mencari teman yang tepat, yaitu kamu”, ujar
Wilham terengah-engah.
“Aku?
kenapa aku?”.
“Mungkin
karna dia selalu melihat kamu sendirian dan kesepian, apalagi kamu hampir bunuh
diri”.
Semenjak
itu, aku tidak lagi suka sendirian, dan semenjak itu juga aku dan Wilham
benar-benar bersahabat, dia memang sahabat paling baik dalam hidupku, aku tak
akan melupakan itu.
*End*
Album Lama - Diskrit (Cerita Bersambung)
Mentari mencuat
dari ufuk timur mengilaukan sinarnya sembari menyisir kabut pagi, bersamaan itu
ayam jantan memperpanjang kokoknya membangunkan penduduk bumi agar segera
menyelesaikan kelelapan. Usai subuh Liana kembali ke pelukan bantal
gulingnya dan melanjutkan kelelapan mimpi dan tidak memperdulikan kokokan ayam
jantan di luar sana. Ia kembali ke alam mimpi, tak ada ketakutan telat bangun
tidur dan terlambat berangkat kuliah, hari itu ia benar-benar tanpa beban, masa
libur semester genap yang panjang, dan membayar hutang tidurnya di bulan-bulan
lalu, kesibukan kuliah teknik membuatnya hampir setiap hari begadang dan selalu kekurangan tidur.
Mentari terlihat
seperti terus mengorbit ke atas, dan hari semakin siang, Liana masih tak
kunjung bangun dari tidurnya.
“Liana, bangun!!!,
ini sudah jam 11 siang, masih saja tidur, bangun!!”, sorak ibunya dari dapur.
“Ia bu, ini udah
bangun”, jawabnya sembari mengucek matanya yang silau menatap cahaya matahari
dari jendela kamar. Ia langsung ke dapur mengambil gelas, menuangkan air dan minum.
“Eh kamu tidak
puasa?”, tanya ibunya heran.
“Ha? Iya.
Astaghfirullah, batal ga ya?”, ujarnya panik.
“Kalau ga di
sengaja nggak batal, udah sana mandi”, ujar ibunya.
Suasana hening
sebentar, Liana berjalan kembali ke ruang tengah.
“Liana sini, kau lihat
ini!!”, panggil ibunya sambil menunjuk sudut rumah yang retak.
“Lah ini kenapa?”,
tanyanya heran.
“Ituloh, semenjak
orang sebelah ngebangun rumah, rumah kita jadi retak begini, tetangga sebelah
yang satu lagi juga kena, begini juga”, ujar ibu kesal.
“Ini sih karena
konsolidasi. Rumah kita mengalami settlement”, ujarnya panik sambil mengingat-ingat kembali pelajaran mekanika tanah di
perkuliahan.
“Itu tuh orang
sebelah rumah, udah jelas ini tanah rawa eh malah bikin rumah bertingkat”, ibu
makin kesal.
“Ia ibu juga sih,
udah tau ini tanah rawa ngapain beli rumah disini”.
“Dulu disini tu
murah, ibu capek ngontrak terus, makanya ibu beli rumah di perumahan sini”.
Ia pun pergi
berlalu meninggalkan ibunya yang masih serius mengamati retakan di sudut
dinding rumah itu. Liana kembali masuk kamar dan terpekur. Dari bawah rak tv,
ia mengamati tumpukan album foto, lalu tangannya meraih salah satu album dari
tumpukan itu. Album itu berisi foto pernikahan ayah dan ibunya, ia membolak
balikan halaman demi halaman, namun ada satu foto yang membuat tangannya
terhenti dan matanya tertuju pada sok-sok foto anak kecil laki-laki berusia 3
tahun, berambut pirang, berhidung mancung, dan berkulit putih seperti orang
keturunan dari eropa. Ia tahu anak dan kenal sekali dengan anak itu, dia
terlahir lebih dulu sebelum ia terlahir di dunia ini, namanya Dean, anak kedua
dari saudara laki-laki nenek kandungnya. Ia dan Dean dulu pernah satu pesta
akikahan, kala itu ia masih berumur 6 bulan.
Ingatan tentang Dean seketika berkeliaran di otaknya, lelaki yang begitu ramah dan santun pada
neneknya, dan keluarga ini, ia berbeda, tak seperti saudara-saudara lainnya kalau
bertemu suka diam dan cuek, ia selalu menyalami dan menanyakan kabar dan
kegiatan orang di rumah. Ia tumbuh dewasa dengan wajah yang sangat tampan.
Liana kembali
teringat, kala itu ia datang bersama nenek dan keluarganya yang lain ke rumah Dean usai papa dan mamanya Imam balik dari Mekah, ketika masih duduk di kelas 1
sma dan Dean saat itu sudah kuliah di jurusan teknik sipil di salah satu
universitas swasta di Lampung. Dean menyambut hangat keluarga yang datang, ia
duduk di dekat Liana.
“Liana, udah kelas
1 sma kan?, kemaren ranking berapa?”, tanyanya.
“Ana cuma ranking
6, udah ga juara kelas lagi seperti smp dulu”, jawabnya datar.
“Di SMA
pelajarannya emang lebih sulit kok, dan saingannya memang lebih berat. Apalagi
kalau udah kuliah, lihat ini tugas abang tebal banget kan? Hitungan semua dan
itu di tulis tangan malahan, pegel banget ngerjainnya, ini yang selesai juga
belum setengah dari yang di kasih dosen. Kamu kalau nanti kuliah pengen masuk
jurusan apa?”, tanyanya lagi.
“Belum tau,
sepertinya arsitek, karena aku suka menggambar dan matematika. Bang Dean emang
jurusan apa?”, tanya Liana ingin tahu.
“Abang? Jurusan
teknik sipil”, jawabnya.
“O…, emang jurusan
teknik sipil itu belajarnya apa sih bang?”.
“Ya kebanyakan
fisika dan matematika sih, tapi terapannya. Belajarnya ya seperti statika, mekanika
bahan, mekanika tanah, yang prinsipnya menggunakan hukum fisika seperti hukum
newton, hukum kontuinuitas, dan hukum fisika lainnya”, jelas Dean.
“O… gitu ya, ntar
kerjanya di bidang apaan?” tanya Liana
“Bisa kerja di
bidang transportasi seperti bandara dan jalan, atau yang lainnya kayak
kontruksi gedung, jembatan, geoteknik dan lain-lain. Ntar ada yang kerja di
konsultan, kontraktor, PU, dan banyak juga yang kerja di perbankan”,
“hmm… “, jawab
Liana sambil mengangguk.
“Kamu suka
matematika ya, abang ada buku matematika waktu persiapan tes masuk perguruan
tinggi dulu, abang ambil dulu di kamar ya”, Dean berlalu bergegas pergi menaiki
tangga rumah. Lalu kembali sambil membawa buku dan sebuah kalkulator ilmiah.
“Ini, buku matematikanya, sama kalkulator ini bawa aja pulang”.
“Kalkulatornya
nggak usah bang, aku bisa pakai kalkulator hp aja kalau ngerjain tugas, lagian
kalau ujian di sekolahku nggak dibolehin makai kalkulator”.
“Oke, ga apa-apa”.
“Bye the way, terima kasih ya?”, ujarku.
“Sama-sama, kamu
belajar yang rajin ya, soalnya tes perguruan tinggi itu cukup susah, kamu
latihan aja soal-soal snmptn itu dari sekarang, ya minimal 1 atau 2 soal
perhari, abang sebenarnya nyesal pas sma cuma main-main aja, nggak belajar,
makanya ga terima di perguruan tinggi negeri”, ujar Imam sambil tersenyum.
“Iya bang. Aku
pamit dulu ya”, Liana berpamitan pergi dan berlalu masuk mobil. Imam
melambaikan tangan sambil tersenyum.
Semenjak hari itu
hari pertama perasaan itu bersemi di hati Liana, perasaan yang bukan hanya
sekedar saudara jauh, tapi perasaan suka yang menyelinap datang ke dalam
hatinya, ya perasaan seorang remaja yang jatuh cinta. Namun perasaan itu ia
biarkan hanya sekedar tumbuh tanpa ia pernah menyiraminya, ia merasa tak kan
mungkin perasaan ini akan
di persatukan, ia
hanya berprasangka mungkin perasaan ini hanya perasaan kagum dari seorang adik
pada seseorang yang seharusnya ia panggil paman, bukan abang, namun karena
terpaut umur yang tidak berbeda jauh, ia memanggilnya paman.
Disisi lain
sebenarnya Dean juga menyukai gadis abg itu, saat itu ia sudah remaja dan
cantik tanpa ia duga setelah sekian lama begitu jarang bertemu, yang dia ingat
dulu Liana hanya anak kecil yang berambut ikal dan pemalu, tapi sekarang ia
tumbuh tinggi, cerdas, dan tidak lagi pemalu seperti waktu kecil. Benih
perasaan itu sekejap muncul dalam hatinya, namun tidak ada keinginan untuk
memekarkan perasaan itu, ia telah punya kekasih yang juga teman kuliahnya.
Namun tetap saja sok-sok Liana bermunculan sesekali dalam lamunannya.
Purnama 3201
Kampus
pagi itu terlihat begitu sepi, hanya ada pak Imang yang sedang bersih-bersih di
salah satu ruangan di Sipil. Aku memang bermaksud untuk datang sepagi ini
berharap bisa menyelesaikan tugas mekanika bahan secepatnya, aku memasuki ruangan
kelas 3201, hanya ada aku dan Meril di ruangan itu.
“Pagi
Meril, udah bikin PR mekban belum?”, sapaku dengan suara serak.
“Pagi
juga dit, udah”, jawabnya dingin.
“Boleh
nanya ga soal nomor 4 ngerjainnya gimana ya, aku bingung nyari lendutan kalau bebannya
merata?”, tanpa basa-basi dia mengajariku hingga benar-benar mengerti. Yah,
dialah Meril cewek terpintar dan tercantik diangkatanku, sikapnya yang dingin
serasa membekukan seluruh aliran darahku, tetapi ketika kembali memandangnya
tersenyum layaknya mentari yang bersinar yang menghangatkan, cowok manapun akan
leleh seperti es di kutub akibat global warming senyumnya Meril.
Meril
adalah teman sekelasku, teman satu kelompok praktikum, dan parnert ku saat
ospek jurusan. Karena keseringan bersama, aku dan Meril menjadi begitu dekat.
Aku pernah mencadainya dengan menempelkan tanah lempung di pipinya saat
praktikum mekanika tanah, saat itu dia begitu marah, dan aku membantunya
mencuci muka, itu pertama kalinya bagiku menyentuh wajah Meril, begitu halus dan
putih. Aku pikir gadis secantik dia tak perlu masuk jurusan ini, jurusan yang
di dominasi laki-laki, mungkin dia lebih pantas jadi dokter, jadi guru, ah tapi
sudahlah, kalau tak ada cewek secantik dia mungkin aku juga akan bosan kuliah
disini.
Hari demi hari waktu berlalu begitu
cepat, tanpa terasa aku sudah memasuki tingkat empat, aku masih sibuk dengan
kesendirian dan badai perkuliahan ini. Tampaknya begitu juga dengan Meril,
masih menutup diri dan tidak mau digandeng cowok manapun, dan aku masih betah menunggunya
dalam diam-diam sambil ngerjain tugas akhir.
Sore
itu langit tampak begitu cerah, seperti biasa aku duduk di kursi depan sekre
himpunan mahasiswa sipil, sambil mengerjakan tugas akhir, aku ingin lulus
secepatnya dan bisa melamar Meril si gadis impian itu. Sekejap, Merilpun datang
bersama laptopnya dan duduk berhadapan denganku.
“Meril
kamu mau minum apa?, aku pesanin”, tanyaku.
“Teh
manis aja”, ujarnya singkat
“Ok,
Mang pesan teh manis satu, dan satu lagi teh yang sama sekali nggak pakai
gula”.
Pesanan
teh pun datang,
“Kok
kamu tehnya nggak pakai gula?”, tanya Meril memandang aneh.
“karena
teh ini akan tetap tawar sebelum tercelup senyumanmu Meril”, ujarku sekenanya,
keceplosan.
“Apaan sih? Gombal banget”, ujar
gadis berambut sebahu itu. Aku melihat rona di wajahnya kemerahan dan tersipu
malu. Aku kembali berkhayal mungkinkah ia selama ini menyukaiku, dan sampai
kapan aku akan tetap hanya bisa memendam perasaan ini, tetapi aku begitu takut
jika keenyataannya ia hanya hayalan saja bagiku.
Malam
ini bulan Purnama begitu benderang mengintipku di balik pohon yang rindang,
keindahannya kembali mengurat wajah Meril di benakku, seorang gadis yang
menjadi purnama sekaligus mentari bagiku. Aku tak sabar, sungguh tak sabar
untuk melihatnya esok pagi memakai toga dan esok hari dimana akan menjadi titik
penentuan perasaanku padanya, aku harus mengungkapkannya. Aku sangat bingung
mengungkapkannya bagaimana, aku bingung menghadapinya bagaimana, bagaimana jika
ia justru menolakku dan bahkan ia tak lagi mau berteman denganku, atau justru
jika ia menerimaku aku haru bagaimana, sudahlah aku tak mau lagi tersiksa dngan
perasaan seperti ini.
Pagi
ini mentari mencuat dari ufuk timur, menyisir kabut pagi dan menyudahi alam
mimpiku. Aku bergegas mandi dan ingin tampil sebaik mungkin di hadapan Meril.
Bermodalkan sebuket bunga mawar aku menunggunya di depan gedung wisuda, aku
merasakan detak jantung yang sama saat pertama kali jatuh cinta pada Meril pada
pagi itu di kelas 3201. Dadaku terus sesak menahan degupan perasaan yang
mencuat begitu kuat bersama denyut nadiku sambil membayangkan kembali betapa
saat itu jantungku berdetak keras saat pertama kali berduaan di kelas di temani
tugas Mekban.
Akhirnya
yang di tunggu-tunggu keluar juga dari gedung, beberapa orang mengerebutinya
termasuk aku. ia disambut cepat oleh seorang lelaki berjas hitam, layaknya
seorang kekasih dan mengecup keningnya aku terkesiap lunglai melihat
pemandangan itu dan berharap ini hanya mimpi, atau lelaki itu kakaknya, atau
adiknya.
“Teman-teman
kenalin ini mas Andi, tunanganku”, ujar Meril penuh bahagia. Hatiku terasa di
hempaskan, jatuh dan hancur, ia takkan lagi jadi purnamaku.
Kamu 2 Tahun Yang Lalu (Cerita Pendek)
Usai
makan siang aku kembali ke sekolah untuk melihat pengumuman final lomba fisika
itu, sebenarnya rasa kantuk jauh lebih menguasaiku daripada rasa penasaran
untuk tahu hasilnya, karena aku merasa yakin tidak akan masuk final di lomba
ini, tapi ya sudahlah aku masih optimis untuk bisa masuk final.
Sekejap
aku sampai di sekolah, pengumuman finalnya pun sudah keluar dan semua peserta
berbondong-bondong di depan papan pengumuman. Ternyata aku masuk final, aku
berada di posisi ke 6 saat penyisihan, tapi aku tak lupa untuk melihat siapa di
peringkat 1 nya, Yudhistira, ya nama itu lagi, nama yang sering kali ku lihat
berada di posisi teratas di lomba fisika. beberapa menit kemudian finalpun di
mulai, aku tak memiliki ambisi sedikitpun untuk menang di lomba ini, aku slalu
pesimis. 30 menitpun akhirnya final selesai, Yudhistira datang menghampiri
bangku-ku,
“kamu Dina kan?”, tanyanya seakan-akan pernah berkenalan
“Ia,
emang kenapa ya?”, Tanya ku balik dengan perasaan aneh mengapa dia tahu namaku.
“Ga, ga kenapa-napa. Gimana soal final tadi?”, tanyanya balik.
“Ya
begitulah, bagiku cukup sulit, mungkin bagimu tidak”, ujarku merendah.
“Ah…
aku cukup kecewa dengan soalnya, kurang menantang”, jawabnya dengan nada kecewa
sembari kembali ke kursinya.
Aku
kembali ke kosan tanpa mempedulikan hasilnya bagaimana, lalu aku tidur siang.
Aku tertidur cukup pulas. Aku terbangun karna beberapa kali hpku bergetar dapat
sms dan panggilan yang tak terjawab dari nomor yang tidak diketahui mengabarkan
bahwa finalnya diulang kembali, karna ada 7 orang yang skornya sama. Pada
akhirnya aku kembali ke sekolah lagi dengan wajah yang masih kucel usai bangun
tidur siang.
Ketika
aku datang, lomba pun langsung di mulai. Kali ini soalnya tak begitu sulit,
hanya masalah waktu dan ketelitian. Aku terlambat mengumpulkan, aku
mengumpulkannya di urutkan ke lima. Aku tak begitu kecewa karna aku merasa tak
mungkin juara. Yudhistira, dia lagi, dia yang pertama kali mengumpulkan, dia
memang begitu pintar pikirku.
Aku
keluar ruangan lomba dan mendekati yudis.
“Yudis,
kamu nomor 1 dan 2 jawabannya apa?”, Tanyaku memulai pembicaraan.
“o..
berarti aku hanya benar 1 nomor”, jawabku pelan. “kamu snmptn kemaren memilih
kuliah dimana?”, Tanya ku lagi.
“pengennya
sih STEI ITB, tapi rasanya aku pesimis, soalnya teman-temanku di sekolah banyak
nilai raportnya yang lebih tinggi dari aku. Kamu sendiri apa?”, tanyanya balik.
“Kamu
pasti bisa kok, kamu kan sering juara lomba fisika dan sekolahmu kan bagus
pasti banyak yang lulus. Aku pengennya sih SAPPK ITB, tapi aku juga pesimis
sih, karna aku nggak pernah punya prestasi apa apa di sekolah ini” balasku.
“Kamu
tadi kesini dengan apa?”, tanyanya balik.
“Ha?
Maksudmu. Aku kesini tadi jalan kaki, kan kosan ku dekat dari sini, dan
sekolahku juga disini”, jawab ku sedikit heran, aku mulai berfikir kalau yudis
sebenarnya salah orang mungkin aku bukan Dina yang ia maksud.
“Oh,
gitu. Aku boleh tahu nomor hp kamu ga?”.
“Buat
apa?”, Tanyaku.
“Ya
buat aku dihubunginlah. Siapa tahu dilain waktu kita bisa berkomunikasi lagi”,
“083811597677”
jawab ku, dan Yudis begitu sigap mencatat di buku fisikanya.
“terima
kasih ya, aku kesana dulu”, Yudis segera pergi.
Aku
melihat teman-teman sekolahku sedang berkumpul di sebuah meja, aku berjalan
mendekati mereka.
“Hmm,
ada yang lagi pdkt nih sama anak SMA 8”, ujar temanku Dian di depan
teman-teman yang lain supaya membuatku malu.
“ciee…., dina!!!”, ujar teman teman yang lain memukuliku.
“Apaan
sih kalian ini, orang juga Cuma ngomongin soal fisika yang tadi”, ujarku malu.
“Tuh
dia tuh! Dia mau nyanyi buat kamu ya?”, ujar Dian merayuku, sambil menunjuk
Yudis yang sedang berdiri memegang mic di atas pentas.
Yudis
menyanyikan lagu, dan lagu itu memang lagu kesukaanku. Suaranya begitu bagus,
aku tak lupa merekam suaranya dengan hpku. Entah rasa kagum dan suka itu mulai
menyelinap-nyelinap masuk dalam lubuk hatiku.
Usai
Yudis menyanyikan lagu, pengumuman pemenangpun dimulai. Aku mendapat peringkat
harapan 1, dan Yudis meraih juara 1 di lomba itu. Kami sempat berfoto bersama dengan
peserta lomba lainnya, tetapi aku sama sekali tidak tahu foto itu ada bersama
siapa, padahal aku ingin bisa mengabadikan momen itu juga.
Usai
pengumuman itu, aku ingin balik ke kosan. Aku bertemu Yudis, dia menghampiriku
sambil mengacungkan tangan dan mengucapkan selamat.
“Selamat
ya din, harapan 1”, ujarnya sambil tersenyum manis. Entah betapa manisnya
senyuman itu bagiku, rasanya hatiku bagaikan gunung es yang mencair di kala
panas mentari membakar bumi, bunga-bunga amori serasa berjatuhan menghiasi
suasana itu.
“Iya,
selamat juga ya buat kamu yang jadi juara satunya”, balasku dengan begitu
senang.
“Aku
berangkat dulu ya?”, ujarnya pamit.
“Eh,
boleh aku tau nama fb kamu?”, tanyaku ragu.
Yudis
langsung mengambil buku yang ada di tanganku dan menuliskan nama fb nya.
“Aku
berangkat dulu ya, sampai ketemu nanti ya!!”, jawabnya melambaikan tangan
Aku
melanjutkan perjalanan pulang menuju kos. Selama di perjalanan rasanya aku
tidak ingin berhenti untuk tersenyum mengingat perkenalanku dengan Yudish.
Mungkinkah saat itu aku terserang virus merah jambu pada pandangan pertama,
entah percaya atau tidak dengan jatuh cinta pada pandangan pertama aku tidak
peduli, yang kurasa saat itu hari yang menyenangkan.
Malam
itu, sebelum tidur aku begitu lama menatap telepon genggam dan berfikir mengapa
yudis tidak menghubungiku ya, oh iya kan dia tinggal di asrama dan di asrama
itu dia tidak boleh membuka gadget sedikitpun, kemungkinan dia menghubungiku
hanya pas liburan semester. Tapi ya sudahlah, aku kembali mengingat kejadian
tadi siang dan membayangkan wajah Yudis yang begitu tampan dengan kacamatanya
terlihat begitu cerdas, apalagi tubuhnya yang tegap karna di sekolahnya yang
semimiliter sudah terbiasa latihan fisik sehingga tubuh mereka bagus.
Esoknya aku menerima pesan dari
nomor yang tak dikenal, ternyata dari Yudish, ia sempat menelfonku beberapa
menit. Aku senang sekali akhirnya Yudish menghubungiku, kami sempat bahas
banyak soal matematika lewat SMS, dan bahkan telfonan 10 menit, terakhir kali
dia memutus telfon karena takut ketahuan penjaga asrama, karena di asramanya
sama sekali tidakboleh menggunakan gadget. Semenjak itu Yudish tidak pernah
lagi menghubungiku, mungkin karena UN pun semakin dekat, tapi bagiku cukup
maklum kita sama-sama sibuk mempersiapkan diri untuk ujian nasional.
Hari
ini adalah hari dimana pengumuman SNMPTN diumumkan pukul empat sore. Dan betapa
senangnya saat membuka pengumuman tersebut aku dinyatakan lolos di pilihan
pertama yaitu SAPPK ITB. Aku penasaran bagaimana dengan Yudish, aku mencoba
menghubunginya lewat telfon, ternyata nomornya tidak aktif. Padahal aku
berharap sekali bisa satu kampus dengannya agar bisa bertemu lagi.
Beberapa
hari kemudian,pagi itu ketika akan berangkat ke sekolah untuk mengambil ijazah
aku kembali dihubungi oleh nomor yang tak dikenal,
“Halo?
Siapa ya?”, tanyaku.
“Ini
aku Yudish. Gimana kabarnya din?”, Tanya nya balik.
“Baik,
baik. Kamu sendiri gimana?” tanyaku.
“Baik
juga, bagaimana hasil SNMPTNmu?”, tanyanya penuh penasaran.
“Alhamdulillah
aku lulus SAPPK ITB, kamu gimana? Tanyaku jauh lebih penasaran.
“Aku
tidak lulus din”, jawabnya pundung.
“Loh
kok bisa?, trus kamu sbmptn jadinya tetap milih STEI?”, tanyaku balik.
“Ya
gitu, mungkin nilaiku tidak terlalu baik. Sbmptn aku rencananya ngambil
Geofisika ITS aja”, jawabnya lesu.
“Ok
tetap semangat ya Yud, kamu pasti bisa kok. Maaf ya, aku mau berangkat nih,
telfonannya kapan-kapan aja ya kita lanjutin” ucapku memutus telfon.
Semenjak
hari itu Yudish tidak pernah lagi menghubungiku, terakhir kali aku mendengar
kabarnya dari temanku yang satu SMA dengan dia kalau dia lulus di teknik
Geofisika ITS. Semenjak hari itu kami sibuk dengan kehidupan perkuliahan
masing-masing.
Semester
4 pun berakhir, rasanya waktu begitu cepat berlalu, baru kemaren rasanya aku
kegirangan dengan euphoria hasil kelulusan SNMPTN, sekarang aku telah memasuki
masa liburan panjang di semester 4. Libur yang begitu panjang membuatku bosan,
sesekali aku kembali membuka facebook, tiba-tiba ada notifikasi pesan dari
Yudish.
“Sayang”,
ujarnya dari seberang sana. Aku sudah tidak merasa girang seperti dulu kalau
menerima pesan dari yudish, waktu membuat perasaanku terhadapnya menjadi
biasa-biasa saja. Dengan tenang aku menjawab.
“Kamu
sayangnya bertebaran dimana-mana ya?”.
“aku
Cuma kangen sama kamu aja din”, ujarnya yang slalu mencoba membuatku GR
“Apanya
yang dikangenin?”, tanyaku datar.
“Aku
kangen kamu 2 tahun yang lalu”.
“O…,
aku juga berfikiran yang sama, aku juga kangen masa-masa 2 tahun yang lalu. Kita
nggak akan bisa kembali ke masa itu lagi. Hanya kenanganlah yang akan tetap
hidup”, jawabku.
“Iya
kamu benar din, hanya kenangannyalah yang masih tetap hidup diingatan kita.
Kamu banyak berubah ya sekarang”, ujarnya diseberang sana.
“Apanya
yang berubah?” tanyaku penasaran.
“Pokoknya
banyak, apapun. Kamu jadi lebih dewasa pola pikirnya, lebih cantik, lebih
pintar, tetapi aku tetap merindukan kamu 2 tahun yang lalu”, jawabnya.
“Memangnya
ada apa dengan 2 tahun yang lalu? Kenapa kamu lebih merindukan aku di waktu
itu?”, tanyaku seolah tak ada apa-apa.
“Karena
2 tahun yang lalu, kamu yang aku kenal sebagai orang yang menyukaiku. Dan
sekarang kamu sudah berbeda” jawabnya. Aku terhenyak hening dan malu. Padahal aku tak pernah memberitahu perasaanku pada siapapun, apalagi padanya, mengapa tiba-tiba ia tahu disaat semuanya sudah terasa hambar.
Subscribe to:
Posts (Atom)