Tuesday, February 20, 2018

Album Lama - Diskrit (Cerita Bersambung)


Mentari mencuat dari ufuk timur mengilaukan sinarnya sembari menyisir kabut pagi, bersamaan itu ayam jantan memperpanjang kokoknya membangunkan penduduk bumi agar segera menyelesaikan kelelapan. Usai subuh Liana kembali ke pelukan bantal gulingnya dan melanjutkan kelelapan mimpi dan tidak memperdulikan kokokan ayam jantan di luar sana. Ia kembali ke alam mimpi, tak ada ketakutan telat bangun tidur dan terlambat berangkat kuliah, hari itu ia benar-benar tanpa beban, masa libur semester genap yang panjang, dan membayar hutang tidurnya di bulan-bulan lalu, kesibukan kuliah teknik membuatnya hampir setiap hari begadang dan selalu kekurangan tidur.
Mentari terlihat seperti terus mengorbit ke atas, dan hari semakin siang, Liana masih tak kunjung bangun dari tidurnya.
“Liana, bangun!!!, ini sudah jam 11 siang, masih saja tidur, bangun!!”, sorak ibunya dari dapur.
“Ia bu, ini udah bangun”, jawabnya sembari mengucek matanya yang silau menatap cahaya matahari dari jendela kamar. Ia langsung ke dapur mengambil gelas, menuangkan air dan minum.
“Eh kamu tidak puasa?”, tanya ibunya heran.
“Ha? Iya. Astaghfirullah, batal ga ya?”, ujarnya panik.
“Kalau ga di sengaja nggak batal, udah sana mandi”, ujar ibunya.
Suasana hening sebentar, Liana berjalan kembali ke ruang tengah.
“Liana sini, kau lihat ini!!”, panggil ibunya sambil menunjuk sudut rumah yang retak.
“Lah ini kenapa?”, tanyanya heran.
“Ituloh, semenjak orang sebelah ngebangun rumah, rumah kita jadi retak begini, tetangga sebelah yang satu lagi juga kena, begini juga”, ujar ibu kesal.

“Ini sih karena konsolidasi. Rumah kita mengalami settlement”, ujarnya panik sambil mengingat-ingat kembali pelajaran mekanika tanah di perkuliahan.
“Itu tuh orang sebelah rumah, udah jelas ini tanah rawa eh malah bikin rumah bertingkat”, ibu makin kesal.
“Ia ibu juga sih, udah tau ini tanah rawa ngapain beli rumah disini”.
“Dulu disini tu murah, ibu capek ngontrak terus, makanya ibu beli rumah di perumahan sini”.
Ia pun pergi berlalu meninggalkan ibunya yang masih serius mengamati retakan di sudut dinding rumah itu. Liana kembali masuk kamar dan terpekur. Dari bawah rak tv, ia mengamati tumpukan album foto, lalu tangannya meraih salah satu album dari tumpukan itu. Album itu berisi foto pernikahan ayah dan ibunya, ia membolak balikan halaman demi halaman, namun ada satu foto yang membuat tangannya terhenti dan matanya tertuju pada sok-sok foto anak kecil laki-laki berusia 3 tahun, berambut pirang, berhidung mancung, dan berkulit putih seperti orang keturunan dari eropa. Ia tahu anak dan kenal sekali dengan anak itu, dia terlahir lebih dulu sebelum ia terlahir di dunia ini, namanya Dean, anak kedua dari saudara laki-laki nenek kandungnya. Ia dan Dean dulu pernah satu pesta akikahan, kala itu ia masih berumur 6 bulan.
Ingatan tentang Dean seketika berkeliaran di otaknya, lelaki yang begitu ramah dan santun pada neneknya, dan keluarga ini, ia berbeda, tak seperti saudara-saudara lainnya kalau bertemu suka diam dan cuek, ia selalu menyalami dan menanyakan kabar dan kegiatan orang di rumah. Ia tumbuh dewasa dengan wajah yang sangat tampan.
Liana kembali teringat, kala itu ia datang bersama nenek dan keluarganya yang lain ke rumah Dean usai papa dan mamanya Imam balik dari Mekah, ketika masih duduk di kelas 1 sma dan Dean saat itu sudah kuliah di jurusan teknik sipil di salah satu universitas swasta di Lampung. Dean menyambut hangat keluarga yang datang, ia duduk di dekat Liana.
“Liana, udah kelas 1 sma kan?, kemaren ranking berapa?”, tanyanya.
“Ana cuma ranking 6, udah ga juara kelas lagi seperti smp dulu”, jawabnya datar.
“Di SMA pelajarannya emang lebih sulit kok, dan saingannya memang lebih berat. Apalagi kalau udah kuliah, lihat ini tugas abang tebal banget kan? Hitungan semua dan itu di tulis tangan malahan, pegel banget ngerjainnya, ini yang selesai juga belum setengah dari yang di kasih dosen. Kamu kalau nanti kuliah pengen masuk jurusan apa?”, tanyanya lagi.
“Belum tau, sepertinya arsitek, karena aku suka menggambar dan matematika. Bang Dean emang jurusan apa?”, tanya Liana ingin tahu.
“Abang? Jurusan teknik sipil”, jawabnya.
“O…, emang jurusan teknik sipil itu belajarnya apa sih bang?”.
“Ya kebanyakan fisika dan matematika sih, tapi terapannya. Belajarnya ya seperti statika, mekanika bahan, mekanika tanah, yang prinsipnya menggunakan hukum fisika seperti hukum newton, hukum kontuinuitas, dan hukum fisika lainnya”, jelas Dean.
“O… gitu ya, ntar kerjanya di bidang apaan?” tanya Liana
“Bisa kerja di bidang transportasi seperti bandara dan jalan, atau yang lainnya kayak kontruksi gedung, jembatan, geoteknik dan lain-lain. Ntar ada yang kerja di konsultan, kontraktor, PU, dan banyak juga yang kerja di perbankan”,
“hmm… “, jawab Liana sambil mengangguk.
“Kamu suka matematika ya, abang ada buku matematika waktu persiapan tes masuk perguruan tinggi dulu, abang ambil dulu di kamar ya”, Dean berlalu bergegas pergi menaiki tangga rumah. Lalu kembali sambil membawa buku dan sebuah kalkulator ilmiah. “Ini, buku matematikanya, sama kalkulator ini bawa aja pulang”.
“Kalkulatornya nggak usah bang, aku bisa pakai kalkulator hp aja kalau ngerjain tugas, lagian kalau ujian di sekolahku nggak dibolehin makai kalkulator”.
“Oke, ga apa-apa”.
Bye the way, terima kasih ya?”, ujarku.
“Sama-sama, kamu belajar yang rajin ya, soalnya tes perguruan tinggi itu cukup susah, kamu latihan aja soal-soal snmptn itu dari sekarang, ya minimal 1 atau 2 soal perhari, abang sebenarnya nyesal pas sma cuma main-main aja, nggak belajar, makanya ga terima di perguruan tinggi negeri”, ujar Imam sambil tersenyum.
“Iya bang. Aku pamit dulu ya”, Liana berpamitan pergi dan berlalu masuk mobil. Imam melambaikan tangan sambil tersenyum.
Semenjak hari itu hari pertama perasaan itu bersemi di hati Liana, perasaan yang bukan hanya sekedar saudara jauh, tapi perasaan suka yang menyelinap datang ke dalam hatinya, ya perasaan seorang remaja yang jatuh cinta. Namun perasaan itu ia biarkan hanya sekedar tumbuh tanpa ia pernah menyiraminya, ia merasa tak kan mungkin perasaan ini akan
di persatukan, ia hanya berprasangka mungkin perasaan ini hanya perasaan kagum dari seorang adik pada seseorang yang seharusnya ia panggil paman, bukan abang, namun karena terpaut umur yang tidak berbeda jauh, ia memanggilnya paman.
Disisi lain sebenarnya Dean juga menyukai gadis abg itu, saat itu ia sudah remaja dan cantik tanpa ia duga setelah sekian lama begitu jarang bertemu, yang dia ingat dulu Liana hanya anak kecil yang berambut ikal dan pemalu, tapi sekarang ia tumbuh tinggi, cerdas, dan tidak lagi pemalu seperti waktu kecil. Benih perasaan itu sekejap muncul dalam hatinya, namun tidak ada keinginan untuk memekarkan perasaan itu, ia telah punya kekasih yang juga teman kuliahnya. Namun tetap saja sok-sok Liana bermunculan sesekali dalam lamunannya.

No comments:

Post a Comment