Mentari mencuat
dari ufuk timur mengilaukan sinarnya sembari menyisir kabut pagi, bersamaan itu
ayam jantan memperpanjang kokoknya membangunkan penduduk bumi agar segera
menyelesaikan kelelapan. Usai subuh Liana kembali ke pelukan bantal
gulingnya dan melanjutkan kelelapan mimpi dan tidak memperdulikan kokokan ayam
jantan di luar sana. Ia kembali ke alam mimpi, tak ada ketakutan telat bangun
tidur dan terlambat berangkat kuliah, hari itu ia benar-benar tanpa beban, masa
libur semester genap yang panjang, dan membayar hutang tidurnya di bulan-bulan
lalu, kesibukan kuliah teknik membuatnya hampir setiap hari begadang dan selalu kekurangan tidur.
Mentari terlihat
seperti terus mengorbit ke atas, dan hari semakin siang, Liana masih tak
kunjung bangun dari tidurnya.
“Liana, bangun!!!,
ini sudah jam 11 siang, masih saja tidur, bangun!!”, sorak ibunya dari dapur.
“Ia bu, ini udah
bangun”, jawabnya sembari mengucek matanya yang silau menatap cahaya matahari
dari jendela kamar. Ia langsung ke dapur mengambil gelas, menuangkan air dan minum.
“Eh kamu tidak
puasa?”, tanya ibunya heran.
“Ha? Iya.
Astaghfirullah, batal ga ya?”, ujarnya panik.
“Kalau ga di
sengaja nggak batal, udah sana mandi”, ujar ibunya.
Suasana hening
sebentar, Liana berjalan kembali ke ruang tengah.
“Liana sini, kau lihat
ini!!”, panggil ibunya sambil menunjuk sudut rumah yang retak.
“Lah ini kenapa?”,
tanyanya heran.
“Ituloh, semenjak
orang sebelah ngebangun rumah, rumah kita jadi retak begini, tetangga sebelah
yang satu lagi juga kena, begini juga”, ujar ibu kesal.
“Ini sih karena
konsolidasi. Rumah kita mengalami settlement”, ujarnya panik sambil mengingat-ingat kembali pelajaran mekanika tanah di
perkuliahan.
“Itu tuh orang
sebelah rumah, udah jelas ini tanah rawa eh malah bikin rumah bertingkat”, ibu
makin kesal.
“Ia ibu juga sih,
udah tau ini tanah rawa ngapain beli rumah disini”.
“Dulu disini tu
murah, ibu capek ngontrak terus, makanya ibu beli rumah di perumahan sini”.
Ia pun pergi
berlalu meninggalkan ibunya yang masih serius mengamati retakan di sudut
dinding rumah itu. Liana kembali masuk kamar dan terpekur. Dari bawah rak tv,
ia mengamati tumpukan album foto, lalu tangannya meraih salah satu album dari
tumpukan itu. Album itu berisi foto pernikahan ayah dan ibunya, ia membolak
balikan halaman demi halaman, namun ada satu foto yang membuat tangannya
terhenti dan matanya tertuju pada sok-sok foto anak kecil laki-laki berusia 3
tahun, berambut pirang, berhidung mancung, dan berkulit putih seperti orang
keturunan dari eropa. Ia tahu anak dan kenal sekali dengan anak itu, dia
terlahir lebih dulu sebelum ia terlahir di dunia ini, namanya Dean, anak kedua
dari saudara laki-laki nenek kandungnya. Ia dan Dean dulu pernah satu pesta
akikahan, kala itu ia masih berumur 6 bulan.
Ingatan tentang Dean seketika berkeliaran di otaknya, lelaki yang begitu ramah dan santun pada
neneknya, dan keluarga ini, ia berbeda, tak seperti saudara-saudara lainnya kalau
bertemu suka diam dan cuek, ia selalu menyalami dan menanyakan kabar dan
kegiatan orang di rumah. Ia tumbuh dewasa dengan wajah yang sangat tampan.
Liana kembali
teringat, kala itu ia datang bersama nenek dan keluarganya yang lain ke rumah Dean usai papa dan mamanya Imam balik dari Mekah, ketika masih duduk di kelas 1
sma dan Dean saat itu sudah kuliah di jurusan teknik sipil di salah satu
universitas swasta di Lampung. Dean menyambut hangat keluarga yang datang, ia
duduk di dekat Liana.
“Liana, udah kelas
1 sma kan?, kemaren ranking berapa?”, tanyanya.
“Ana cuma ranking
6, udah ga juara kelas lagi seperti smp dulu”, jawabnya datar.
“Di SMA
pelajarannya emang lebih sulit kok, dan saingannya memang lebih berat. Apalagi
kalau udah kuliah, lihat ini tugas abang tebal banget kan? Hitungan semua dan
itu di tulis tangan malahan, pegel banget ngerjainnya, ini yang selesai juga
belum setengah dari yang di kasih dosen. Kamu kalau nanti kuliah pengen masuk
jurusan apa?”, tanyanya lagi.
“Belum tau,
sepertinya arsitek, karena aku suka menggambar dan matematika. Bang Dean emang
jurusan apa?”, tanya Liana ingin tahu.
“Abang? Jurusan
teknik sipil”, jawabnya.
“O…, emang jurusan
teknik sipil itu belajarnya apa sih bang?”.
“Ya kebanyakan
fisika dan matematika sih, tapi terapannya. Belajarnya ya seperti statika, mekanika
bahan, mekanika tanah, yang prinsipnya menggunakan hukum fisika seperti hukum
newton, hukum kontuinuitas, dan hukum fisika lainnya”, jelas Dean.
“O… gitu ya, ntar
kerjanya di bidang apaan?” tanya Liana
“Bisa kerja di
bidang transportasi seperti bandara dan jalan, atau yang lainnya kayak
kontruksi gedung, jembatan, geoteknik dan lain-lain. Ntar ada yang kerja di
konsultan, kontraktor, PU, dan banyak juga yang kerja di perbankan”,
“hmm… “, jawab
Liana sambil mengangguk.
“Kamu suka
matematika ya, abang ada buku matematika waktu persiapan tes masuk perguruan
tinggi dulu, abang ambil dulu di kamar ya”, Dean berlalu bergegas pergi menaiki
tangga rumah. Lalu kembali sambil membawa buku dan sebuah kalkulator ilmiah.
“Ini, buku matematikanya, sama kalkulator ini bawa aja pulang”.
“Kalkulatornya
nggak usah bang, aku bisa pakai kalkulator hp aja kalau ngerjain tugas, lagian
kalau ujian di sekolahku nggak dibolehin makai kalkulator”.
“Oke, ga apa-apa”.
“Bye the way, terima kasih ya?”, ujarku.
“Sama-sama, kamu
belajar yang rajin ya, soalnya tes perguruan tinggi itu cukup susah, kamu
latihan aja soal-soal snmptn itu dari sekarang, ya minimal 1 atau 2 soal
perhari, abang sebenarnya nyesal pas sma cuma main-main aja, nggak belajar,
makanya ga terima di perguruan tinggi negeri”, ujar Imam sambil tersenyum.
“Iya bang. Aku
pamit dulu ya”, Liana berpamitan pergi dan berlalu masuk mobil. Imam
melambaikan tangan sambil tersenyum.
Semenjak hari itu
hari pertama perasaan itu bersemi di hati Liana, perasaan yang bukan hanya
sekedar saudara jauh, tapi perasaan suka yang menyelinap datang ke dalam
hatinya, ya perasaan seorang remaja yang jatuh cinta. Namun perasaan itu ia
biarkan hanya sekedar tumbuh tanpa ia pernah menyiraminya, ia merasa tak kan
mungkin perasaan ini akan
di persatukan, ia
hanya berprasangka mungkin perasaan ini hanya perasaan kagum dari seorang adik
pada seseorang yang seharusnya ia panggil paman, bukan abang, namun karena
terpaut umur yang tidak berbeda jauh, ia memanggilnya paman.
Disisi lain
sebenarnya Dean juga menyukai gadis abg itu, saat itu ia sudah remaja dan
cantik tanpa ia duga setelah sekian lama begitu jarang bertemu, yang dia ingat
dulu Liana hanya anak kecil yang berambut ikal dan pemalu, tapi sekarang ia
tumbuh tinggi, cerdas, dan tidak lagi pemalu seperti waktu kecil. Benih
perasaan itu sekejap muncul dalam hatinya, namun tidak ada keinginan untuk
memekarkan perasaan itu, ia telah punya kekasih yang juga teman kuliahnya.
Namun tetap saja sok-sok Liana bermunculan sesekali dalam lamunannya.
No comments:
Post a Comment