Usai
makan siang aku kembali ke sekolah untuk melihat pengumuman final lomba fisika
itu, sebenarnya rasa kantuk jauh lebih menguasaiku daripada rasa penasaran
untuk tahu hasilnya, karena aku merasa yakin tidak akan masuk final di lomba
ini, tapi ya sudahlah aku masih optimis untuk bisa masuk final.
Sekejap
aku sampai di sekolah, pengumuman finalnya pun sudah keluar dan semua peserta
berbondong-bondong di depan papan pengumuman. Ternyata aku masuk final, aku
berada di posisi ke 6 saat penyisihan, tapi aku tak lupa untuk melihat siapa di
peringkat 1 nya, Yudhistira, ya nama itu lagi, nama yang sering kali ku lihat
berada di posisi teratas di lomba fisika. beberapa menit kemudian finalpun di
mulai, aku tak memiliki ambisi sedikitpun untuk menang di lomba ini, aku slalu
pesimis. 30 menitpun akhirnya final selesai, Yudhistira datang menghampiri
bangku-ku,
“kamu Dina kan?”, tanyanya seakan-akan pernah berkenalan
“Ia,
emang kenapa ya?”, Tanya ku balik dengan perasaan aneh mengapa dia tahu namaku.
“Ga, ga kenapa-napa. Gimana soal final tadi?”, tanyanya balik.
“Ya
begitulah, bagiku cukup sulit, mungkin bagimu tidak”, ujarku merendah.
“Ah…
aku cukup kecewa dengan soalnya, kurang menantang”, jawabnya dengan nada kecewa
sembari kembali ke kursinya.
Aku
kembali ke kosan tanpa mempedulikan hasilnya bagaimana, lalu aku tidur siang.
Aku tertidur cukup pulas. Aku terbangun karna beberapa kali hpku bergetar dapat
sms dan panggilan yang tak terjawab dari nomor yang tidak diketahui mengabarkan
bahwa finalnya diulang kembali, karna ada 7 orang yang skornya sama. Pada
akhirnya aku kembali ke sekolah lagi dengan wajah yang masih kucel usai bangun
tidur siang.
Ketika
aku datang, lomba pun langsung di mulai. Kali ini soalnya tak begitu sulit,
hanya masalah waktu dan ketelitian. Aku terlambat mengumpulkan, aku
mengumpulkannya di urutkan ke lima. Aku tak begitu kecewa karna aku merasa tak
mungkin juara. Yudhistira, dia lagi, dia yang pertama kali mengumpulkan, dia
memang begitu pintar pikirku.
Aku
keluar ruangan lomba dan mendekati yudis.
“Yudis,
kamu nomor 1 dan 2 jawabannya apa?”, Tanyaku memulai pembicaraan.
“o..
berarti aku hanya benar 1 nomor”, jawabku pelan. “kamu snmptn kemaren memilih
kuliah dimana?”, Tanya ku lagi.
“pengennya
sih STEI ITB, tapi rasanya aku pesimis, soalnya teman-temanku di sekolah banyak
nilai raportnya yang lebih tinggi dari aku. Kamu sendiri apa?”, tanyanya balik.
“Kamu
pasti bisa kok, kamu kan sering juara lomba fisika dan sekolahmu kan bagus
pasti banyak yang lulus. Aku pengennya sih SAPPK ITB, tapi aku juga pesimis
sih, karna aku nggak pernah punya prestasi apa apa di sekolah ini” balasku.
“Kamu
tadi kesini dengan apa?”, tanyanya balik.
“Ha?
Maksudmu. Aku kesini tadi jalan kaki, kan kosan ku dekat dari sini, dan
sekolahku juga disini”, jawab ku sedikit heran, aku mulai berfikir kalau yudis
sebenarnya salah orang mungkin aku bukan Dina yang ia maksud.
“Oh,
gitu. Aku boleh tahu nomor hp kamu ga?”.
“Buat
apa?”, Tanyaku.
“Ya
buat aku dihubunginlah. Siapa tahu dilain waktu kita bisa berkomunikasi lagi”,
“083811597677”
jawab ku, dan Yudis begitu sigap mencatat di buku fisikanya.
“terima
kasih ya, aku kesana dulu”, Yudis segera pergi.
Aku
melihat teman-teman sekolahku sedang berkumpul di sebuah meja, aku berjalan
mendekati mereka.
“Hmm,
ada yang lagi pdkt nih sama anak SMA 8”, ujar temanku Dian di depan
teman-teman yang lain supaya membuatku malu.
“ciee…., dina!!!”, ujar teman teman yang lain memukuliku.
“Apaan
sih kalian ini, orang juga Cuma ngomongin soal fisika yang tadi”, ujarku malu.
“Tuh
dia tuh! Dia mau nyanyi buat kamu ya?”, ujar Dian merayuku, sambil menunjuk
Yudis yang sedang berdiri memegang mic di atas pentas.
Yudis
menyanyikan lagu, dan lagu itu memang lagu kesukaanku. Suaranya begitu bagus,
aku tak lupa merekam suaranya dengan hpku. Entah rasa kagum dan suka itu mulai
menyelinap-nyelinap masuk dalam lubuk hatiku.
Usai
Yudis menyanyikan lagu, pengumuman pemenangpun dimulai. Aku mendapat peringkat
harapan 1, dan Yudis meraih juara 1 di lomba itu. Kami sempat berfoto bersama dengan
peserta lomba lainnya, tetapi aku sama sekali tidak tahu foto itu ada bersama
siapa, padahal aku ingin bisa mengabadikan momen itu juga.
Usai
pengumuman itu, aku ingin balik ke kosan. Aku bertemu Yudis, dia menghampiriku
sambil mengacungkan tangan dan mengucapkan selamat.
“Selamat
ya din, harapan 1”, ujarnya sambil tersenyum manis. Entah betapa manisnya
senyuman itu bagiku, rasanya hatiku bagaikan gunung es yang mencair di kala
panas mentari membakar bumi, bunga-bunga amori serasa berjatuhan menghiasi
suasana itu.
“Iya,
selamat juga ya buat kamu yang jadi juara satunya”, balasku dengan begitu
senang.
“Aku
berangkat dulu ya?”, ujarnya pamit.
“Eh,
boleh aku tau nama fb kamu?”, tanyaku ragu.
Yudis
langsung mengambil buku yang ada di tanganku dan menuliskan nama fb nya.
“Aku
berangkat dulu ya, sampai ketemu nanti ya!!”, jawabnya melambaikan tangan
Aku
melanjutkan perjalanan pulang menuju kos. Selama di perjalanan rasanya aku
tidak ingin berhenti untuk tersenyum mengingat perkenalanku dengan Yudish.
Mungkinkah saat itu aku terserang virus merah jambu pada pandangan pertama,
entah percaya atau tidak dengan jatuh cinta pada pandangan pertama aku tidak
peduli, yang kurasa saat itu hari yang menyenangkan.
Malam
itu, sebelum tidur aku begitu lama menatap telepon genggam dan berfikir mengapa
yudis tidak menghubungiku ya, oh iya kan dia tinggal di asrama dan di asrama
itu dia tidak boleh membuka gadget sedikitpun, kemungkinan dia menghubungiku
hanya pas liburan semester. Tapi ya sudahlah, aku kembali mengingat kejadian
tadi siang dan membayangkan wajah Yudis yang begitu tampan dengan kacamatanya
terlihat begitu cerdas, apalagi tubuhnya yang tegap karna di sekolahnya yang
semimiliter sudah terbiasa latihan fisik sehingga tubuh mereka bagus.
Esoknya aku menerima pesan dari
nomor yang tak dikenal, ternyata dari Yudish, ia sempat menelfonku beberapa
menit. Aku senang sekali akhirnya Yudish menghubungiku, kami sempat bahas
banyak soal matematika lewat SMS, dan bahkan telfonan 10 menit, terakhir kali
dia memutus telfon karena takut ketahuan penjaga asrama, karena di asramanya
sama sekali tidakboleh menggunakan gadget. Semenjak itu Yudish tidak pernah
lagi menghubungiku, mungkin karena UN pun semakin dekat, tapi bagiku cukup
maklum kita sama-sama sibuk mempersiapkan diri untuk ujian nasional.
Hari
ini adalah hari dimana pengumuman SNMPTN diumumkan pukul empat sore. Dan betapa
senangnya saat membuka pengumuman tersebut aku dinyatakan lolos di pilihan
pertama yaitu SAPPK ITB. Aku penasaran bagaimana dengan Yudish, aku mencoba
menghubunginya lewat telfon, ternyata nomornya tidak aktif. Padahal aku
berharap sekali bisa satu kampus dengannya agar bisa bertemu lagi.
Beberapa
hari kemudian,pagi itu ketika akan berangkat ke sekolah untuk mengambil ijazah
aku kembali dihubungi oleh nomor yang tak dikenal,
“Halo?
Siapa ya?”, tanyaku.
“Ini
aku Yudish. Gimana kabarnya din?”, Tanya nya balik.
“Baik,
baik. Kamu sendiri gimana?” tanyaku.
“Baik
juga, bagaimana hasil SNMPTNmu?”, tanyanya penuh penasaran.
“Alhamdulillah
aku lulus SAPPK ITB, kamu gimana? Tanyaku jauh lebih penasaran.
“Aku
tidak lulus din”, jawabnya pundung.
“Loh
kok bisa?, trus kamu sbmptn jadinya tetap milih STEI?”, tanyaku balik.
“Ya
gitu, mungkin nilaiku tidak terlalu baik. Sbmptn aku rencananya ngambil
Geofisika ITS aja”, jawabnya lesu.
“Ok
tetap semangat ya Yud, kamu pasti bisa kok. Maaf ya, aku mau berangkat nih,
telfonannya kapan-kapan aja ya kita lanjutin” ucapku memutus telfon.
Semenjak
hari itu Yudish tidak pernah lagi menghubungiku, terakhir kali aku mendengar
kabarnya dari temanku yang satu SMA dengan dia kalau dia lulus di teknik
Geofisika ITS. Semenjak hari itu kami sibuk dengan kehidupan perkuliahan
masing-masing.
Semester
4 pun berakhir, rasanya waktu begitu cepat berlalu, baru kemaren rasanya aku
kegirangan dengan euphoria hasil kelulusan SNMPTN, sekarang aku telah memasuki
masa liburan panjang di semester 4. Libur yang begitu panjang membuatku bosan,
sesekali aku kembali membuka facebook, tiba-tiba ada notifikasi pesan dari
Yudish.
“Sayang”,
ujarnya dari seberang sana. Aku sudah tidak merasa girang seperti dulu kalau
menerima pesan dari yudish, waktu membuat perasaanku terhadapnya menjadi
biasa-biasa saja. Dengan tenang aku menjawab.
“Kamu
sayangnya bertebaran dimana-mana ya?”.
“aku
Cuma kangen sama kamu aja din”, ujarnya yang slalu mencoba membuatku GR
“Apanya
yang dikangenin?”, tanyaku datar.
“Aku
kangen kamu 2 tahun yang lalu”.
“O…,
aku juga berfikiran yang sama, aku juga kangen masa-masa 2 tahun yang lalu. Kita
nggak akan bisa kembali ke masa itu lagi. Hanya kenanganlah yang akan tetap
hidup”, jawabku.
“Iya
kamu benar din, hanya kenangannyalah yang masih tetap hidup diingatan kita.
Kamu banyak berubah ya sekarang”, ujarnya diseberang sana.
“Apanya
yang berubah?” tanyaku penasaran.
“Pokoknya
banyak, apapun. Kamu jadi lebih dewasa pola pikirnya, lebih cantik, lebih
pintar, tetapi aku tetap merindukan kamu 2 tahun yang lalu”, jawabnya.
“Memangnya
ada apa dengan 2 tahun yang lalu? Kenapa kamu lebih merindukan aku di waktu
itu?”, tanyaku seolah tak ada apa-apa.
“Karena
2 tahun yang lalu, kamu yang aku kenal sebagai orang yang menyukaiku. Dan
sekarang kamu sudah berbeda” jawabnya. Aku terhenyak hening dan malu. Padahal aku tak pernah memberitahu perasaanku pada siapapun, apalagi padanya, mengapa tiba-tiba ia tahu disaat semuanya sudah terasa hambar.
No comments:
Post a Comment