Kampus
pagi itu terlihat begitu sepi, hanya ada pak Imang yang sedang bersih-bersih di
salah satu ruangan di Sipil. Aku memang bermaksud untuk datang sepagi ini
berharap bisa menyelesaikan tugas mekanika bahan secepatnya, aku memasuki ruangan
kelas 3201, hanya ada aku dan Meril di ruangan itu.
“Pagi
Meril, udah bikin PR mekban belum?”, sapaku dengan suara serak.
“Pagi
juga dit, udah”, jawabnya dingin.
“Boleh
nanya ga soal nomor 4 ngerjainnya gimana ya, aku bingung nyari lendutan kalau bebannya
merata?”, tanpa basa-basi dia mengajariku hingga benar-benar mengerti. Yah,
dialah Meril cewek terpintar dan tercantik diangkatanku, sikapnya yang dingin
serasa membekukan seluruh aliran darahku, tetapi ketika kembali memandangnya
tersenyum layaknya mentari yang bersinar yang menghangatkan, cowok manapun akan
leleh seperti es di kutub akibat global warming senyumnya Meril.
Meril
adalah teman sekelasku, teman satu kelompok praktikum, dan parnert ku saat
ospek jurusan. Karena keseringan bersama, aku dan Meril menjadi begitu dekat.
Aku pernah mencadainya dengan menempelkan tanah lempung di pipinya saat
praktikum mekanika tanah, saat itu dia begitu marah, dan aku membantunya
mencuci muka, itu pertama kalinya bagiku menyentuh wajah Meril, begitu halus dan
putih. Aku pikir gadis secantik dia tak perlu masuk jurusan ini, jurusan yang
di dominasi laki-laki, mungkin dia lebih pantas jadi dokter, jadi guru, ah tapi
sudahlah, kalau tak ada cewek secantik dia mungkin aku juga akan bosan kuliah
disini.
Hari demi hari waktu berlalu begitu
cepat, tanpa terasa aku sudah memasuki tingkat empat, aku masih sibuk dengan
kesendirian dan badai perkuliahan ini. Tampaknya begitu juga dengan Meril,
masih menutup diri dan tidak mau digandeng cowok manapun, dan aku masih betah menunggunya
dalam diam-diam sambil ngerjain tugas akhir.
Sore
itu langit tampak begitu cerah, seperti biasa aku duduk di kursi depan sekre
himpunan mahasiswa sipil, sambil mengerjakan tugas akhir, aku ingin lulus
secepatnya dan bisa melamar Meril si gadis impian itu. Sekejap, Merilpun datang
bersama laptopnya dan duduk berhadapan denganku.
“Meril
kamu mau minum apa?, aku pesanin”, tanyaku.
“Teh
manis aja”, ujarnya singkat
“Ok,
Mang pesan teh manis satu, dan satu lagi teh yang sama sekali nggak pakai
gula”.
Pesanan
teh pun datang,
“Kok
kamu tehnya nggak pakai gula?”, tanya Meril memandang aneh.
“karena
teh ini akan tetap tawar sebelum tercelup senyumanmu Meril”, ujarku sekenanya,
keceplosan.
“Apaan sih? Gombal banget”, ujar
gadis berambut sebahu itu. Aku melihat rona di wajahnya kemerahan dan tersipu
malu. Aku kembali berkhayal mungkinkah ia selama ini menyukaiku, dan sampai
kapan aku akan tetap hanya bisa memendam perasaan ini, tetapi aku begitu takut
jika keenyataannya ia hanya hayalan saja bagiku.
Malam
ini bulan Purnama begitu benderang mengintipku di balik pohon yang rindang,
keindahannya kembali mengurat wajah Meril di benakku, seorang gadis yang
menjadi purnama sekaligus mentari bagiku. Aku tak sabar, sungguh tak sabar
untuk melihatnya esok pagi memakai toga dan esok hari dimana akan menjadi titik
penentuan perasaanku padanya, aku harus mengungkapkannya. Aku sangat bingung
mengungkapkannya bagaimana, aku bingung menghadapinya bagaimana, bagaimana jika
ia justru menolakku dan bahkan ia tak lagi mau berteman denganku, atau justru
jika ia menerimaku aku haru bagaimana, sudahlah aku tak mau lagi tersiksa dngan
perasaan seperti ini.
Pagi
ini mentari mencuat dari ufuk timur, menyisir kabut pagi dan menyudahi alam
mimpiku. Aku bergegas mandi dan ingin tampil sebaik mungkin di hadapan Meril.
Bermodalkan sebuket bunga mawar aku menunggunya di depan gedung wisuda, aku
merasakan detak jantung yang sama saat pertama kali jatuh cinta pada Meril pada
pagi itu di kelas 3201. Dadaku terus sesak menahan degupan perasaan yang
mencuat begitu kuat bersama denyut nadiku sambil membayangkan kembali betapa
saat itu jantungku berdetak keras saat pertama kali berduaan di kelas di temani
tugas Mekban.
Akhirnya
yang di tunggu-tunggu keluar juga dari gedung, beberapa orang mengerebutinya
termasuk aku. ia disambut cepat oleh seorang lelaki berjas hitam, layaknya
seorang kekasih dan mengecup keningnya aku terkesiap lunglai melihat
pemandangan itu dan berharap ini hanya mimpi, atau lelaki itu kakaknya, atau
adiknya.
“Teman-teman
kenalin ini mas Andi, tunanganku”, ujar Meril penuh bahagia. Hatiku terasa di
hempaskan, jatuh dan hancur, ia takkan lagi jadi purnamaku.
No comments:
Post a Comment