Tuesday, February 20, 2018

Purnama 3201



           
Kampus pagi itu terlihat begitu sepi, hanya ada pak Imang yang sedang bersih-bersih di salah satu ruangan di Sipil. Aku memang bermaksud untuk datang sepagi ini berharap bisa menyelesaikan tugas mekanika bahan secepatnya, aku memasuki ruangan kelas 3201, hanya ada aku dan Meril di ruangan itu.
“Pagi Meril, udah bikin PR mekban belum?”, sapaku dengan suara serak.
“Pagi juga dit, udah”, jawabnya dingin.
“Boleh nanya ga soal nomor 4 ngerjainnya gimana ya, aku bingung nyari lendutan kalau bebannya merata?”, tanpa basa-basi dia mengajariku hingga benar-benar mengerti. Yah, dialah Meril cewek terpintar dan tercantik diangkatanku, sikapnya yang dingin serasa membekukan seluruh aliran darahku, tetapi ketika kembali memandangnya tersenyum layaknya mentari yang bersinar yang menghangatkan, cowok manapun akan leleh seperti es di kutub akibat global warming senyumnya Meril.
Meril adalah teman sekelasku, teman satu kelompok praktikum, dan parnert ku saat ospek jurusan. Karena keseringan bersama, aku dan Meril menjadi begitu dekat. Aku pernah mencadainya dengan menempelkan tanah lempung di pipinya saat praktikum mekanika tanah, saat itu dia begitu marah, dan aku membantunya mencuci muka, itu pertama kalinya bagiku menyentuh wajah Meril, begitu halus dan putih. Aku pikir gadis secantik dia tak perlu masuk jurusan ini, jurusan yang di dominasi laki-laki, mungkin dia lebih pantas jadi dokter, jadi guru, ah tapi sudahlah, kalau tak ada cewek secantik dia mungkin aku juga akan bosan kuliah disini.
Hari demi hari waktu berlalu begitu cepat, tanpa terasa aku sudah memasuki tingkat empat, aku masih sibuk dengan kesendirian dan badai perkuliahan ini. Tampaknya begitu juga dengan Meril, masih menutup diri dan tidak mau digandeng cowok manapun, dan aku masih betah menunggunya dalam diam-diam sambil ngerjain tugas akhir.

Sore itu langit tampak begitu cerah, seperti biasa aku duduk di kursi depan sekre himpunan mahasiswa sipil, sambil mengerjakan tugas akhir, aku ingin lulus secepatnya dan bisa melamar Meril si gadis impian itu. Sekejap, Merilpun datang bersama laptopnya dan duduk berhadapan denganku.
“Meril kamu mau minum apa?, aku pesanin”, tanyaku.
“Teh manis aja”, ujarnya singkat
“Ok, Mang pesan teh manis satu, dan satu lagi teh yang sama sekali nggak pakai gula”.
Pesanan teh pun datang,
“Kok kamu tehnya nggak pakai gula?”, tanya Meril memandang aneh.
“karena teh ini akan tetap tawar sebelum tercelup senyumanmu Meril”, ujarku sekenanya, keceplosan.
“Apaan sih? Gombal banget”, ujar gadis berambut sebahu itu. Aku melihat rona di wajahnya kemerahan dan tersipu malu. Aku kembali berkhayal mungkinkah ia selama ini menyukaiku, dan sampai kapan aku akan tetap hanya bisa memendam perasaan ini, tetapi aku begitu takut jika keenyataannya ia hanya hayalan saja bagiku.

Malam ini bulan Purnama begitu benderang mengintipku di balik pohon yang rindang, keindahannya kembali mengurat wajah Meril di benakku, seorang gadis yang menjadi purnama sekaligus mentari bagiku. Aku tak sabar, sungguh tak sabar untuk melihatnya esok pagi memakai toga dan esok hari dimana akan menjadi titik penentuan perasaanku padanya, aku harus mengungkapkannya. Aku sangat bingung mengungkapkannya bagaimana, aku bingung menghadapinya bagaimana, bagaimana jika ia justru menolakku dan bahkan ia tak lagi mau berteman denganku, atau justru jika ia menerimaku aku haru bagaimana, sudahlah aku tak mau lagi tersiksa dngan perasaan seperti ini.

Pagi ini mentari mencuat dari ufuk timur, menyisir kabut pagi dan menyudahi alam mimpiku. Aku bergegas mandi dan ingin tampil sebaik mungkin di hadapan Meril. Bermodalkan sebuket bunga mawar aku menunggunya di depan gedung wisuda, aku merasakan detak jantung yang sama saat pertama kali jatuh cinta pada Meril pada pagi itu di kelas 3201. Dadaku terus sesak menahan degupan perasaan yang mencuat begitu kuat bersama denyut nadiku sambil membayangkan kembali betapa saat itu jantungku berdetak keras saat pertama kali berduaan di kelas di temani tugas Mekban.
Akhirnya yang di tunggu-tunggu keluar juga dari gedung, beberapa orang mengerebutinya termasuk aku. ia disambut cepat oleh seorang lelaki berjas hitam, layaknya seorang kekasih dan mengecup keningnya aku terkesiap lunglai melihat pemandangan itu dan berharap ini hanya mimpi, atau lelaki itu kakaknya, atau adiknya.
“Teman-teman kenalin ini mas Andi, tunanganku”, ujar Meril penuh bahagia. Hatiku terasa di hempaskan, jatuh dan hancur, ia takkan lagi jadi purnamaku.

No comments:

Post a Comment