Tuesday, February 20, 2018

Misterius Teman Baru


Langit begitu mendung, awan juga terlihat gelap, sepertinya mau hujan, seragam dengan suasana hatiku saat ini. Entah apa yang membuat aku seperti ini, aku merasa sesak, dan ingin melepaskan semua beban ini, tapi kepada siapa? Tak ada seseorang yang dapat ku percaya di dunia ini, kecuali Tuhan. Tuhan, tolong bantu aku dari semua kesulitan ini, aku merasakan dunia ini tak adil untukku, engkau berbuat adil pada hambamu ini, tetapi makhlukmu tak berlaku adil padaku.
            Apa salahku? mengapa aku begitu dibenci oleh teman-teman di sekolah, apalagi teman-teman di kelasku?. Egi, salah satu teman laki-laki yang selalu aku banggakan, dia pintar dan alim, tiba-tiba saja membenciku, Zhafi yang dulunya teman karibku, sekarang menjadi dingin dan berubah, Tika teman sebangkuku yang dulunya baik, gokil, selalu mensuport aku dan kami mempunyai banyak kesamaan, dia menjauh dan tidak seperti dulu lagi, sedangkan teman-teman di kelas yang dulunya menghargai aku, tiba-tiba mencemo’ohkan aku dan membanding-bandingkan aku dengan Zhafi yang mereka anggap sebagai ratu penyelamat dikala ujian. Kenapa hal ini terjadi padaku?.
            Diriku seakan-akan tak pantas berada di dalam habitat ini, dan aku gagal dalam melakukan adaptasi, jika hal ini ku kaitkan dengan pelajaran Biologi. Aku pernah mencoba ingin berubah, aku bertanya pada mereka, kenapa mereka membenci aku dan apa kesalahan aku? mereka tak mau menjawab apa-apa dan malah meninggalkan aku. Oh Tuhan, sesulit inikah cobaan yang kau berikan padaku? Aku pasrah dan tolong beri aku petunjukmu, do’aku ketika selesai sholat ashar di mesjid.
            Aku keluar dari mesjid, aku merasakan sedikit ketenangan dan kedamaian setelah sholat dan berdo’a. Aku berjalan lurus, lurus, dan terus lurus, aku tak tau lagi mau kemana kaki ini akan ku langkahkan, pandangan ku kosong. Butiran air mulai menetes satu-satu dari langit, hingga akhirnya kencang dan deras. Aku berlari mencari tempat berteduh, tetapi kacamataku jatuh, nyaris retak, aku memunggutnya lagi, sebelum memakainya, dengan samar-samar dari kejauhan aku melihat seseorang berjalan kaki dan berpayung yang sedang menuju aku dan ingin menghampiriku. Kembali kugunakan kacamata, barulah tampak jelas, ternyata dia adalah sahabatku Wilham, dia beda kelas denganku. Dia menumpangiku untuk menggunakan payungnya. Aku kira dia tidak akan mengacuhkan aku, ternyata dia peduli padaku.
            Wilham membawaku ke rumahnya, dia menyuruhku masuk. Awalnya aku ragu, tapi dia memaksa.
            “Apa orang tuamu ada di rumah?” tanya ku gugup.
            “Tidak, hanya kakakku” jawab Wilham.
            “Oh, baiklah” ujarku dan aku masuk ke dalam rumahnya.
            Wilham melemparkan sebuah handuk kering padaku, dan kemudian datang membawakan dua cangkir teh hangat, secangkair untukku, dan secangkir untuk dia, saat itu aku tidak berfikiran dia tidak akan berbuat jahat padaku seperti yang biasanya ditayangkan di sinetron-sinetron, aku percaya dia, dia sahabatku, dan dia tak mungkin melakukan hal yang buruk padaku.
            “Kok kamu pulangnya telat? Apa orang tuamu tidak marah kalau pulang telat begini?” tanya Wilham mengawali pembicaraan kami.
            “Tadi aku nyasar, Wil. Aku juga tidak tahu kalau orang tuaku akan marah kalau pulang telat” jawabku seadanya.
            “Ha? Nyasar? Mana mungkin sudah segede ini kamu nyasar, lagi pula kamu bukan anak baru. Memangnya tak ada alasan lain yang harus kamu berikan. Kamu lucu!” Wilham tersenyum kecil. “Bagaimana dengan cerpenmu? Sudah selesai?” Wilham meneguk tehnya.
            “Belum, aku masih bingung mau memilih tema cerita apa.”
            “Kalau menurut aku, kamu lebih baik mengambil tema cerita dari sesuatu yang pernah kamu alami, jadinya lebih real”,  lalu Wilham diam sejenak, karena tak dapat respon apa-apa dariku, dan dia berkata lagi. “Loh, kok diam Nis?”.
            “Nggak, aku cuma lagi mikir aja”, jawabku berkilah.
            “Mikir apa sich? Kok akhir-akhir ini kamu sering diam, ada masalah ya? Kalau ada masalah, silahkan cerita aja, siapa tahu aku bisa bantu. Jangan dipendam-pendam, nanti bisa sesak, dan butuh dokter jiwa buat menyelesaikannya”. Aku diam dan sama sekali tak ku cerna kata-katanya barusan.
            “Oh ma’af, kamu tersinggng ya, dengan kata-kataku barusan?” Wilham merasa bersalah dengan kalimat gurauannya, dia fikir aku akan tersenyum dengan kata-kata itu, ternyata tidak.
            “Ah, tidak sama sekali” sanggahku, sebenarnya aku agak tersinggung, aku bukan gila, untuk apa aku butuh dokter jiwa, mungkin itu pengalaman dia yang pernah konsultasi ke dokter jiwa.
            “Bagaimana masalahmu dengan Ari dan Riyan di facebook? Bukankah Ari yang menghina kamu duluan dan Riyan juga ikutan membela Ari” Wilham mengalihkan topik pembicaraan.
            “Entahlah, Wil. Sepertinya aku tak akan berbaikan lagi dengan mereka, kata-kata yang mereka lontarkan sangat kasar, meskipun itu hanya di dunia maya, tapi kan bisa dibaca semua orang. Padahal hanya masalah sepele, mereka besar-besarkan. Aku rasa Riyan ikut-ikutan dalam masalah ini, karena penerimaan rapor kemarin”.
            “Memangnya salah ya, kalau kamu meraih juara umum? Tapi bagi aku sih, sah-sah aja, karna ini hasil kerja kerasmu, setiap hari belajar siang malam, sampai-sampai kamu pernah sakit karna kelelahan. Wajar saja mereka iri padamu, karna kamu memiliki kelebihan daripada mereka, setiap orang yang sedang lagi diatas pasti banyak orang ingin menjatuhkannya. Aku sarankan padamu, supaya tetap bertahan, jangan kamu hiraukan cemo’ohan mereka. Yang jelas kamu harus tetap belajar untuk menghadapi ujian nasional, kalau nilai kamu tinggi, kamu bisa sekolah keluar kota, dan kamu belum tentu bertemu mereka lagi. Tapi, kalau kamu tidak satu sekolah lagi dengan aku, jangan lupain aku ya?”, ujar Wilham sedih.
            “Terima kasih, Wil. Kamu memang sahabat terbaik yang pernah ku milikki. Aku janji, aku tidak akan melupakanmu, selama aku tidak pikun, lagi pula kita bisa masih bisa terhubung”.
            Aku melihat kesedihan di wajah Wilham, matanya ber kaca-kaca, lalu mengeluarkan air mata, aku dapat membaca pikirannya, sepertinya dia takut kehilangan seseorang, mungkinkah seseorang itu aku?.
            “Kamu kenapa Wil? Kamu menangis, ya?
            “Ah, tidak. Masak anak laki-laki menangis”, Wilham berkilah dan mengusap air matanya.
            “Biasa aja kok, kamu kan juga manusia biasa, bukan superman” ujarku menghibur.
            “Ha, ha, bisa saja kamu. Ayo, minum tehnya, nanti dingin loh”.
            Aku meneguk air teh, dan merasakan kehangatan yang menjalar dari kerongkonganku.
            “Wil, bisa pinjam handphone kamu, nggak?”.
            “Bisa, memangnya kamu ingin menelfon siapa?”.
            “Aku ingin menelfon bapakku”.
            “Untuk apa?”, Tanya Wilham yang selalu ingin tahu.
            “Aku ingin memintanya untuk menjemputku pulang”.
            “Kenapa?”
            “Tadi uangku hilang, jadi aku tidak punya ongkos untuk pulang”.
            “O, karna ini kamu nyasar, kenapa kamu tidak meminjam uangku saja”.
            “Aku tidak mau ngerepotin kamu”.
            “Aku pengen sekali kamu repotin. Kalau kamu aku antar sampai rumah, gimana? Nggak keberatan kan?”.
            “Ng, nggak usahlah”, jawabku menolak tawaran Wilham.
            “Ayolah, masak diantarin sama cowok seganteng aku ini kamu tidak mau”, Wilham memaksa.
            “Baiklah”.
            “Nah, begitu dong”.
            “Sebelum aku pulang, aku ingin cerita sesuatu sama kamu”.
            “Ayo, ceritakan saja”.
            “Begini, tadi siang, ketika usai kegiatan di labor, teman-teman sudah keluar, tinggal aku sendirian di labor. Aku memegang pisau, dan memandang pisau itu dengan lekat-lekat. Ketika aku ingin mengayunkannya, tiba-tiba aku merasakan seseorang lewat di belakangku. Ternyata benar, seorang siswa, sepertinya murid sekolahan kita. Lalu, dia mengambil pisau dari tanganku dan meletakannya, dan dia keluar, kemudian aku mengejarnya, dan dia menghilang”.
            “Terus, kejadian apalagi?”, Wilham penasaran.
            “Ketika aku pulang sekolah, aku jalan kaki sampai sebuah jembatan, dan aku berdiiri diatasnya dan ingin melompat ke bawah sungai”.
            “Ha? Kamu mau bunuh diri?”, tanya Wilham heran.
            “Awalnya begitu”, jawabku pelan.
            “Aduh Nisa, kenapa kamu lakuin itu?”.
            “Aku ngerasa hidupku tidak ada gunanya lagi”.
            “Kenapa jalan pikir kamu pendek sekali. Bunuh diri, tidak akan bisa menyelesaikan masalah, dan kamu nggak boleh ngelakuin itu lagi,
            “Lanjutin cerita kamu”.
            “Ketika aku akan melompat, anak laki-laki itu muncul lagi, dan dia menarik tanganku, mengajak aku turun, setelah aku turun, dia pergi. Aku tidak membiarkannya pergi begitu saja, aku menarik lengannya. Lalu dia minta ma’af padaku karna dia telah menggagalkan ku untuk bunuh diri, aku kaget dengan responnya itu, seharusnya akulah yang harus berterima kasih padanya dan dia menasehatiku, bahwa dengan bunuh diri masalahku tidak akan selesai begitu saja, kami berkenalan dan dia cerita banyak tentang dirinya padaku, aku sungguh salut padanya”.
            “Lantas, namanya siapa?”.
            “Namanya Yuda Al-Faiz”.
            “Kalau tidak salah aku pernah mendengar namanya”.
            “Kapan?”.
            “Kalau waktunya sih, nggak ingat, tapi aku pernah dengar mungkin saja dia itu Yuda Al-Faiz kakak kelas kita yang meninggal bunuh karna stress menghadapi teman-temanya”.
            “Ah, nggak mungkin dia, nama Yuda Al-Faiz nggak mungkin cuma satu orang, lagi pula kakak kelas kita itu telah meninggal”.
“Kenalin aku sama dia dong!”.
            “Ia. Tapi sepertinya hujan sudah reda, aku ingin pulang, kamu jadi nggak ngantarin aku pulang?”
            “Ayo!”.
            Wilham mengantarkanku sampai rumah.
            “Terima kasih ya Wil, sudah ngantarin aku sampai rumah”.
            “Iya, sama-sama”.
            “Nggak mampir dulu ke rumahku?”.
            “Ah, kapan-kapan sajalah”.
            “O, begitu”, aku pergi meninggalkan Wilham.
            “Tunggu”, Wilham meraih tanganku.
            “Ada apa?”.
            “Tapi besok kamu janji, kan?”.
            “Janji apa?”.
            “Janji ngenalin aku sama teman barumu itu”.
            “Iya, besok”.
            “Aku pergi dulu ya”. Hanya ku balas dengan anggukan saja.

            Keesokannya, di sekolah, sepulang sekolah.
            “Wil, itu dia Wil”. Aku menunjuk ke arah Yuda yang duduk dekat beranda gerbang sekolah.
            “Mana?, aku tidak lihat dia”, Wilham menengok ke sana ke mari.
            “Itu, yang duduk dekat pintu gerbang”.
            “Mana? Ga ada tuh “, handphone Wilham berbunyi.
            “Tunggu sebentar ya, ada yang menelfonku” ujarnya mengangkat telfon, dan aku menghampiri Yuda.
            “Sedang apa Yuda?”.
            “Sedang menunggumu”.
            “Sudah lama?”.
            “Belum”.
            “Oh ya, aku mau ngenalin kamu sama sahabat ku, mau nggak?”.
            “Ah, nggak usahlah” jawab Yuda dengan keberatan.
            “Kenapa?”.
            “Percuma”.
            “Percuma kenapa? tanyaku penasaran.
            “Percuma, karna dia tidak akan bisa melihatku, karna cuma kamu yang bisa ngelihat aku”.
            “Loh kok begitu?” aku heran sekali mendengar ucapannya.
            “Ayo, kita kesana Nisa”, Yuda menarik tanganku sekeras mungkin, dan berlari melintasi jalan raya, aku tertarik dan nyaris tertabrak sebuah truk, tiba-tiba dari belakang, seseorang menarik tanganku untuk kembali ke pinggir jalan, aku selamat dari peristiwa kecelakaan itu, ternyata seseorang itu adalah Wilham, aku sungguh berterima kasih dan berhutang nyawa padanya.
            Beberapa hari kemudian.
            Sudah seminggu sesudah peristiwa na’as itu, Yuda tidak lagi muncul.
            Wilham datang menghampiriku, lalu berkata ”Nis, teman kamu yang bernama Yuda itu, benar Yuda Al-Faiz, kakak kelas kita yang meninggal tiga tahun yang lampau karna bunuh diri, dia kesepian dan mencari teman yang tepat, yaitu kamu”, ujar Wilham terengah-engah.
            “Aku? kenapa aku?”.
            “Mungkin karna dia selalu melihat kamu sendirian dan kesepian, apalagi kamu hampir bunuh diri”.
            Semenjak itu, aku tidak lagi suka sendirian, dan semenjak itu juga aku dan Wilham benar-benar bersahabat, dia memang sahabat paling baik dalam hidupku, aku tak akan melupakan itu.
                                                                                                                                    *End*

1 comment: