Langit begitu mendung, awan juga
terlihat gelap, sepertinya mau hujan, seragam dengan suasana hatiku saat ini.
Entah apa yang membuat aku seperti ini, aku merasa sesak, dan ingin melepaskan
semua beban ini, tapi kepada siapa? Tak ada seseorang yang dapat ku percaya di
dunia ini, kecuali Tuhan. Tuhan, tolong bantu aku dari semua kesulitan ini, aku
merasakan dunia ini tak adil untukku, engkau berbuat adil pada hambamu ini,
tetapi makhlukmu tak berlaku adil padaku.
Apa
salahku? mengapa aku begitu dibenci oleh teman-teman di sekolah, apalagi
teman-teman di kelasku?. Egi, salah satu teman laki-laki yang selalu aku
banggakan, dia pintar dan alim, tiba-tiba saja membenciku, Zhafi yang dulunya
teman karibku, sekarang menjadi dingin dan berubah, Tika teman sebangkuku yang
dulunya baik, gokil, selalu mensuport aku dan kami mempunyai banyak kesamaan,
dia menjauh dan tidak seperti dulu lagi, sedangkan teman-teman di kelas yang
dulunya menghargai aku, tiba-tiba mencemo’ohkan aku dan membanding-bandingkan
aku dengan Zhafi yang mereka anggap sebagai ratu penyelamat dikala ujian.
Kenapa hal ini terjadi padaku?.
Diriku
seakan-akan tak pantas berada di dalam habitat ini, dan aku gagal dalam
melakukan adaptasi, jika hal ini ku kaitkan dengan pelajaran Biologi. Aku
pernah mencoba ingin berubah, aku bertanya pada mereka, kenapa mereka membenci
aku dan apa kesalahan aku? mereka tak mau menjawab apa-apa dan malah
meninggalkan aku. Oh Tuhan, sesulit inikah cobaan yang kau berikan padaku? Aku
pasrah dan tolong beri aku petunjukmu, do’aku ketika selesai sholat ashar di
mesjid.
Aku
keluar dari mesjid, aku merasakan sedikit ketenangan dan kedamaian setelah
sholat dan berdo’a. Aku berjalan lurus, lurus, dan terus lurus, aku tak tau
lagi mau kemana kaki ini akan ku langkahkan, pandangan ku kosong. Butiran air
mulai menetes satu-satu dari langit, hingga akhirnya kencang dan deras. Aku
berlari mencari tempat berteduh, tetapi kacamataku jatuh, nyaris retak, aku
memunggutnya lagi, sebelum memakainya, dengan samar-samar dari kejauhan aku
melihat seseorang berjalan kaki dan berpayung yang sedang menuju aku dan ingin
menghampiriku. Kembali kugunakan kacamata, barulah tampak jelas, ternyata dia
adalah sahabatku Wilham, dia beda kelas denganku. Dia menumpangiku untuk
menggunakan payungnya. Aku kira dia tidak akan mengacuhkan aku, ternyata dia
peduli padaku.
Wilham
membawaku ke rumahnya, dia menyuruhku masuk. Awalnya aku ragu, tapi dia
memaksa.
“Apa
orang tuamu ada di rumah?” tanya ku gugup.
“Tidak,
hanya kakakku” jawab Wilham.
“Oh,
baiklah” ujarku dan aku masuk ke dalam rumahnya.
Wilham
melemparkan sebuah handuk kering padaku, dan kemudian datang membawakan dua
cangkir teh hangat, secangkair untukku, dan secangkir untuk dia, saat itu aku
tidak berfikiran dia tidak akan berbuat jahat padaku seperti yang biasanya
ditayangkan di sinetron-sinetron, aku percaya dia, dia sahabatku, dan dia tak
mungkin melakukan hal yang buruk padaku.
“Kok
kamu pulangnya telat? Apa orang tuamu tidak marah kalau pulang telat begini?”
tanya Wilham mengawali pembicaraan kami.
“Tadi
aku nyasar, Wil. Aku juga tidak tahu kalau orang tuaku akan marah kalau pulang
telat” jawabku seadanya.
“Ha?
Nyasar? Mana mungkin sudah segede ini kamu nyasar, lagi pula kamu bukan anak
baru. Memangnya tak ada alasan lain yang harus kamu berikan. Kamu lucu!” Wilham
tersenyum kecil. “Bagaimana dengan cerpenmu? Sudah selesai?” Wilham meneguk
tehnya.
“Belum,
aku masih bingung mau memilih tema cerita apa.”
“Kalau
menurut aku, kamu lebih baik mengambil tema cerita dari sesuatu yang pernah
kamu alami, jadinya lebih real”, lalu
Wilham diam sejenak, karena tak dapat respon apa-apa dariku, dan dia berkata
lagi. “Loh, kok diam Nis?”.
“Nggak,
aku cuma lagi mikir aja”, jawabku berkilah.
“Mikir
apa sich? Kok akhir-akhir ini kamu sering diam, ada masalah ya? Kalau ada
masalah, silahkan cerita aja, siapa tahu aku bisa bantu. Jangan
dipendam-pendam, nanti bisa sesak, dan butuh dokter jiwa buat
menyelesaikannya”. Aku diam dan sama sekali tak ku cerna kata-katanya barusan.
“Oh
ma’af, kamu tersinggng ya, dengan kata-kataku barusan?” Wilham merasa bersalah
dengan kalimat gurauannya, dia fikir aku akan tersenyum dengan kata-kata itu,
ternyata tidak.
“Ah,
tidak sama sekali” sanggahku, sebenarnya aku agak tersinggung, aku bukan gila,
untuk apa aku butuh dokter jiwa, mungkin itu pengalaman dia yang pernah
konsultasi ke dokter jiwa.
“Bagaimana
masalahmu dengan Ari dan Riyan di facebook? Bukankah Ari yang menghina kamu
duluan dan Riyan juga ikutan membela Ari” Wilham mengalihkan topik pembicaraan.
“Entahlah,
Wil. Sepertinya aku tak akan berbaikan lagi dengan mereka, kata-kata yang
mereka lontarkan sangat kasar, meskipun itu hanya di dunia maya, tapi kan bisa
dibaca semua orang. Padahal hanya masalah sepele, mereka besar-besarkan. Aku
rasa Riyan ikut-ikutan dalam masalah ini, karena penerimaan rapor kemarin”.
“Memangnya
salah ya, kalau kamu meraih juara umum? Tapi bagi aku sih, sah-sah aja, karna
ini hasil kerja kerasmu, setiap hari belajar siang malam, sampai-sampai kamu
pernah sakit karna kelelahan. Wajar saja mereka iri padamu, karna kamu memiliki
kelebihan daripada mereka, setiap orang yang sedang lagi diatas pasti banyak
orang ingin menjatuhkannya. Aku sarankan padamu, supaya tetap bertahan, jangan
kamu hiraukan cemo’ohan mereka. Yang jelas kamu harus tetap belajar untuk
menghadapi ujian nasional, kalau nilai kamu tinggi, kamu bisa sekolah keluar
kota, dan kamu belum tentu bertemu mereka lagi. Tapi, kalau kamu tidak satu
sekolah lagi dengan aku, jangan lupain aku ya?”, ujar Wilham sedih.
“Terima
kasih, Wil. Kamu memang sahabat terbaik yang pernah ku milikki. Aku janji, aku
tidak akan melupakanmu, selama aku tidak pikun, lagi pula kita bisa masih bisa
terhubung”.
Aku
melihat kesedihan di wajah Wilham, matanya ber kaca-kaca, lalu mengeluarkan air
mata, aku dapat membaca pikirannya, sepertinya dia takut kehilangan seseorang,
mungkinkah seseorang itu aku?.
“Kamu
kenapa Wil? Kamu menangis, ya?
“Ah,
tidak. Masak anak laki-laki menangis”, Wilham berkilah dan mengusap air
matanya.
“Biasa
aja kok, kamu kan juga manusia biasa, bukan superman” ujarku menghibur.
“Ha,
ha, bisa saja kamu. Ayo, minum tehnya, nanti dingin loh”.
Aku
meneguk air teh, dan merasakan kehangatan yang menjalar dari kerongkonganku.
“Wil,
bisa pinjam handphone kamu, nggak?”.
“Bisa,
memangnya kamu ingin menelfon siapa?”.
“Aku
ingin menelfon bapakku”.
“Untuk
apa?”, Tanya Wilham yang selalu ingin tahu.
“Aku
ingin memintanya untuk menjemputku pulang”.
“Kenapa?”
“Tadi
uangku hilang, jadi aku tidak punya ongkos untuk pulang”.
“O,
karna ini kamu nyasar, kenapa kamu tidak meminjam uangku saja”.
“Aku
tidak mau ngerepotin kamu”.
“Aku
pengen sekali kamu repotin. Kalau kamu aku antar sampai rumah, gimana? Nggak
keberatan kan?”.
“Ng,
nggak usahlah”, jawabku menolak tawaran Wilham.
“Ayolah,
masak diantarin sama cowok seganteng aku ini kamu tidak mau”, Wilham memaksa.
“Baiklah”.
“Nah,
begitu dong”.
“Sebelum
aku pulang, aku ingin cerita sesuatu sama kamu”.
“Ayo,
ceritakan saja”.
“Begini,
tadi siang, ketika usai kegiatan di labor, teman-teman sudah keluar, tinggal
aku sendirian di labor. Aku memegang pisau, dan memandang pisau itu dengan
lekat-lekat. Ketika aku ingin mengayunkannya, tiba-tiba aku merasakan seseorang
lewat di belakangku. Ternyata benar, seorang siswa, sepertinya murid sekolahan
kita. Lalu, dia mengambil pisau dari tanganku dan meletakannya, dan dia keluar,
kemudian aku mengejarnya, dan dia menghilang”.
“Terus,
kejadian apalagi?”, Wilham penasaran.
“Ketika
aku pulang sekolah, aku jalan kaki sampai sebuah jembatan, dan aku berdiiri
diatasnya dan ingin melompat ke bawah sungai”.
“Ha?
Kamu mau bunuh diri?”, tanya Wilham heran.
“Awalnya
begitu”, jawabku pelan.
“Aduh
Nisa, kenapa kamu lakuin itu?”.
“Aku
ngerasa hidupku tidak ada gunanya lagi”.
“Kenapa
jalan pikir kamu pendek sekali. Bunuh diri, tidak akan bisa menyelesaikan
masalah, dan kamu nggak boleh ngelakuin itu lagi,”
“Lanjutin
cerita kamu”.
“Ketika
aku akan melompat, anak laki-laki itu muncul lagi, dan dia menarik tanganku,
mengajak aku turun, setelah aku turun, dia pergi. Aku tidak membiarkannya pergi
begitu saja, aku menarik lengannya. Lalu dia minta ma’af padaku karna dia telah
menggagalkan ku untuk bunuh diri, aku kaget dengan responnya itu, seharusnya
akulah yang harus berterima kasih padanya dan dia menasehatiku, bahwa dengan
bunuh diri masalahku tidak akan selesai begitu saja, kami berkenalan dan dia
cerita banyak tentang dirinya padaku, aku sungguh salut padanya”.
“Lantas,
namanya siapa?”.
“Namanya
Yuda Al-Faiz”.
“Kalau
tidak salah aku pernah mendengar namanya”.
“Kapan?”.
“Kalau
waktunya sih, nggak ingat, tapi aku pernah dengar mungkin saja dia itu Yuda
Al-Faiz kakak kelas kita yang meninggal bunuh karna stress menghadapi
teman-temanya”.
“Ah,
nggak mungkin dia, nama Yuda Al-Faiz nggak mungkin cuma satu orang, lagi pula
kakak kelas kita itu telah meninggal”.
“Kenalin aku
sama dia dong!”.
“Ia.
Tapi sepertinya hujan sudah reda, aku ingin pulang, kamu jadi nggak ngantarin
aku pulang?”
“Ayo!”.
Wilham
mengantarkanku sampai rumah.
“Terima
kasih ya Wil, sudah ngantarin aku sampai rumah”.
“Iya,
sama-sama”.
“Nggak
mampir dulu ke rumahku?”.
“Ah,
kapan-kapan sajalah”.
“O,
begitu”, aku pergi meninggalkan Wilham.
“Tunggu”,
Wilham meraih tanganku.
“Ada
apa?”.
“Tapi
besok kamu janji, kan?”.
“Janji
apa?”.
“Janji
ngenalin aku sama teman barumu itu”.
“Iya,
besok”.
“Aku
pergi dulu ya”. Hanya ku balas dengan anggukan saja.
Keesokannya,
di sekolah, sepulang sekolah.
“Wil,
itu dia Wil”. Aku menunjuk ke arah Yuda yang duduk dekat beranda gerbang
sekolah.
“Mana?,
aku tidak lihat dia”, Wilham menengok ke sana ke mari.
“Itu,
yang duduk dekat pintu gerbang”.
“Mana?
Ga ada tuh “, handphone Wilham berbunyi.
“Tunggu
sebentar ya, ada yang menelfonku” ujarnya mengangkat telfon, dan aku
menghampiri Yuda.
“Sedang
apa Yuda?”.
“Sedang
menunggumu”.
“Sudah
lama?”.
“Belum”.
“Oh
ya, aku mau ngenalin kamu sama sahabat ku, mau nggak?”.
“Ah,
nggak usahlah” jawab Yuda dengan keberatan.
“Kenapa?”.
“Percuma”.
“Percuma
kenapa? tanyaku penasaran.
“Percuma,
karna dia tidak akan bisa melihatku, karna cuma kamu yang bisa ngelihat aku”.
“Loh
kok begitu?” aku heran sekali mendengar ucapannya.
“Ayo,
kita kesana Nisa”, Yuda menarik tanganku sekeras mungkin, dan berlari melintasi
jalan raya, aku tertarik dan nyaris tertabrak sebuah truk, tiba-tiba dari
belakang, seseorang menarik tanganku untuk kembali ke pinggir jalan, aku
selamat dari peristiwa kecelakaan itu, ternyata seseorang itu adalah Wilham,
aku sungguh berterima kasih dan berhutang nyawa padanya.
Beberapa
hari kemudian.
Sudah
seminggu sesudah peristiwa na’as itu, Yuda tidak lagi muncul.
Wilham
datang menghampiriku, lalu berkata ”Nis, teman kamu yang bernama Yuda itu,
benar Yuda Al-Faiz, kakak kelas kita yang meninggal tiga tahun yang lampau
karna bunuh diri, dia kesepian dan mencari teman yang tepat, yaitu kamu”, ujar
Wilham terengah-engah.
“Aku?
kenapa aku?”.
“Mungkin
karna dia selalu melihat kamu sendirian dan kesepian, apalagi kamu hampir bunuh
diri”.
Semenjak
itu, aku tidak lagi suka sendirian, dan semenjak itu juga aku dan Wilham
benar-benar bersahabat, dia memang sahabat paling baik dalam hidupku, aku tak
akan melupakan itu.
*End*
nice
ReplyDelete